Selasa, 22 November 2011

Teori Ekonomi Basis


I.     PENDAHULUAN

1.1.  Latar belakang.
Teori ini berdasarkan pada ekspor barang (komoditas). Sasaran pengembangan teori ini adalah peningkatan laju pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan. Proses pengembangan kawasan adalah merespon permintaan luar negeri atau dalam negeri atau di luar nodalitas serta multiplier effect ( Geltner, 2005). Teori ini sangat populer dan mudah dimengerti, data tersedia menekankan pentingnya industri lokal. Oleh karena sederhana, teori ini hanya mampu memprediksi jangka pendek dan tidak mampu merespon perubahan jangka panjang. Hanya menekankan perlunya mengembangkan sektor industri non basis, tidak mengenal bahwa ekonomi regional adalah mengintegrasikan seluruh aktivitas ekonomi yang saling mendukung. Penerapan pengembangan industri ini berorientasi ekspor dan subtitusi impor, promosi dan pengerahan industri, peningkatan efisiensi ekonomi ekspor melalui perbaikan infrastruktur. Untuk itu ada integrasi antara jenis industri, prasarana, dan perluasan industri. Dapat disusun hipotesa selain lokasi juga peranan sektoral serta LQ ( Location Qoutient) sektor konstruksi perumahan  realestat dalam satu kawasan. 
Teori basis ekonomi (economic base theory) mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Kegiatan ekonomi dikelompokkan atas kegiatan basis dan non basis dimana hanya kegiatan basis yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah.
Investasi adalah faktor penting dalam teori basis ekonomi. Akan tetapi tidak semua investasi dapat memacu pertumbuhan ekonomi pada suatu wilayah (secara berkelanjutan). Apabila kegiatan itu hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal dan kebutuhan lokal itu bertambah, munculnya seorang investor baru jusru akan mengakibatkan kerugian pada investor yang sudah ada sebelumnya atau keuntungan ratarata pengusaha menjadi menurun. Perlu dicatat bahwa apabila rata-rata pengusaha (investor) tidak lagi mendapat untung yang wajar maka laju pertumbuhan ekonomi dapat terganggu. Modal untuk investasi seringkali berasal dari akumulasi keuntungan yang ditahan. Apabila pengusaha tidak memiliki akumulasi keuntungan yang memadai maka kemampuan berinvestasi menjadi menurun. Apabila kegiatan di sektor ini diperkirakan tidak lagi memberikan keuntungan yang  memadai, investor akan kurang berminat menanamkan modalnya di sektor tersebut. Kurangnya investasi akan berakibat kurangnya lapangan kerja baru sehingga tidak mampu menyerap angkatan kerja baru yang setiap tahun akan terus bertambah. Keuntungan pengusaha yang semakin mengecil juga berdampak terhadap penerimaan sektor pajak semakin kecil. Apabila penerimaan pemerintah tidak meningkat maka kemampuan pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja baru menjadi menurun. Hal ini berbeda misalnya investor itu menghasilkan produk yang ditujukan untuk ekspor. Kegiatan ini menciptakan nilai tambah, mendorong sector lain untuk turut berkembang tetapi tidak ada sektor lain yang dirugikan.
Pendekatan pembangunan berorientasi pertumbuhan yang selama ini menjadi “credo” negara-negara berkembang dalam mengejar ketertinggalannya dari negara-negara kapitalis maju, atau yang lebih dikenal dengan paradigma pertumbuhan, telah membawa sejumlah perubahan penting. Disamping berbagai prestasi yang berhasil dicapainya, tercatat sederatan persoalan pelik yang turut memperburuk citra pembangunan dengan orientasi diatas. Diantaranya adalah semakin panjangnya barisan kemiskinan, meningkatnya pengangguran, semakin beratnya beban hutang luar negeri yang harus ditanggung, masifikasi, undimendionalisasi, degradasi kualitas lingkungan hidup secara terus menerus, proses dehumanisasi tersamar yang nyaris tak terkontrol, dan masih banyak lagi. Untuk implikasi terkahir ini, apresiasi terhadap manusia hanya ditempatkan sebatas kontribusinya terhadap pembangunan.  Pada tingkat yang paling nyata, terjadi eliminasi peran masyarakat disatu sisi dan dominasi negara di sisi lain. Tidak heran kalau partisipasi menjadi wacana sentral pembangunan selama beberapa dekade terakhir sebagai wujud kritik, sekaligus kontribusi terhadap upaya perombakan paradigma pembangunan menuju paradigma yang lebih manusiawi, tercerahkan dan menyentuh nilai-nilai mendasar dari pembangunan
Industri cenderung beraglomerasi di daerah-daerah dimana potensi dan kemampuan daerah tersebut memenuhi kebutuhan mereka, dan mereka mendapat manfaat akibat lokasi perusahaan yang saling berdekatan. Teori lokasi tradisional berpendapat bahwa pengelompokan industri muncul terutama akibat minimisasi biaya transport atau biaya produksi (Kuncoro, 2001), Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan sebagian besar wilayahnya adalah perairan. Dengan kondisi seperti inilah yang menyebabkan out put dari perairan lebih besar bila dibandingkan dengan industri-industri lainnya, berbagai macam kekayaan laut dapat dihasilkan seperti rumput laut, ikan dan sebagainya. aktivitas yang dilakukan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha tetap menjaga keseimbangan dan ramah lingkungan. Ini berarti gerak pembangunan harus berorientasi, mempertimbangkan serta memperhatikan manfaat dan dampak dari kualitas, kuantitas, kontinuitas dan efisiensi pemanfaatan ruang serta ekosistem lingkungan.

1.2.  Permasalahan.
            Teori Ekonomi Basis, dalam kaitannya denga topik ini untuk Tugas ketiga, silakan Teman-teman menganalisis pembangunan perikanan di tempat tinggal atau tempat bekerja. Dalam analisis ini cobalah Anda kaji apakah sektor perikanan di daerah tersebut merupakan basis dari pembangunan atau hanya merupakan pendukung. Dari hasil kajian ini selanjutnya teman-teman dapat memberi tanggapan atau rekomendasi mengapa sektor perikanan merupakan sektor basis atau tidak. Dalam memberikan rekomendasi cobalah tinjau dari sisi lingkungan sosial budaya, sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) serta rencana pembangunan dari pemerintah setempat

A.    Ditinjau dari lingkungan sosial budaya, sumberdaya Manusia (SDM) dan Sumberdaya alam (SDA).
KotaTual adalah salah  dari 11 Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku. Kota tual merupakan daerah kepulauan. gugusan pulau yang secara administratif terdiri dari 4 Kecamatan dimana 90 (%) desa berada diwilayah pesisir
Sektor Perikanan dan Kelautan adalah salah satu sektor andalan yang dijadikan pemerintah sebagai salah satu potensi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi baik dalam skala lokal, regional maupun negara. Sektor ini merupakan sektor yang selama ini belum dieksploitasi secara maksimal dan seringkali dianggap bagian dari sector pertanian, padahal sebagai suatu Negara maritim Indonesia memiliki gugusan ribuan pulau yang lebih dari 70 % wilayahnya terdiri dari lautan, belum lagi potensi akan perairan tawar (sungai). Secara umum, persoalan yang dihadapi masyarakat yang bergerak di sector perikanan dan kelautan berkisar pada hal-hal yang berhubungan dengan isue-isue: (1) kemiskinan dan kesenjangan sosial, (2) keterbatasan akses modal, teknologi dan pasar, (3) kualitas SDM yang rendah, (4) degradasi sumber daya lingkungan, dan (5) kebijakan pembangunan yang belum berpihak secara optimal pada sektor ini.
Persoalan kontemporer dan paling fundamental dari pembangunan di Indonesia dalam kerangka pemberdayaan adalah bagaimana mengangkat kekuatan ekonomi lokal sebagai basis perekonomian nasional. Persoalan tersebut berkaitan dengan dua pertanyaan pokok, yaitu pertama, bagaimana peran dan kontribusi perekonomian lokal terhadap perekonomian nasional selama  ini, dan kedua, bagaimana melakukan upaya optimalisasi atas peran dan kontribusi tersebut. Termasuk dalam konteks ini adalah bagaimana mengelola potensi-potensi yang ada dan dimiliki oleh masyarakat, baik sumber daya alam, sumber daya manusia, teknologi, kemampuan kelembagaan (capacity of institutions) maupun aset pengalaman (Haeruman, 2001). Pandangan transformatif melihat bahwa sebenarnya perekonomian lokal dapat memberikan kontribusi riil dalam porsi yang signifikan jika terdapat upaya serius pemerintah untuk mendayagunakan. Misalnya dengan membuka akses yang seluas-luasnya serta menciptkaan iklim yang kondusif. Pandangan itu berangkat dari kenyataan bahwa pembangunan yang dijalankan selama ini telah menyebabkan marginalisasi terhadap perekonomian lokal, dan oleh karenanya, dibutuhkan upaya serius dan sungguh-sungguh untuk mengangkatnya kembali. Upaya inilah yang selama ini dikemas dalam paket pemberdayaan.
Isu pokok yang seharusnya mendapatkan perhatian serius dalam konteks pemberdayaan ekonomi lokal adalah bagaimana membangun kapasitas itu sendiri sehingga mereka mampu mengelola potensi-potensi yang dimilikinya secara optimal. Kapasitas dimaksud pada gilirannya merupakan fungsi dari dan ditentukan oleh tingkat akses masyarakat terhadap segala hal yang berkaitan langsung dengan pengembangan kemampuan ekonomi mereka dan iklim yang konsudif dimana mereka bekerja. Secara lebih spesifik akses dimaksud berkaitan dengan akses terhadap sumberdaya ekonomi seperti modal, lokasi usaha atau lahan, informasi pasar, teknologi serta sarana dan prasarana produksi lainnya. Secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, keterbatasan akses pada aspek-aspek perekonomian diatas telah membatasi peluang mereka untuk memperbaiki kondisi perekonomiannya. Hal itu dapat ditelusuri dari rendahnya tingkat penghasilan masyarakat yang dari waktu ke waktu  belum menunjukkan dinamika yang cukup berarti.
Realitas keterbatasan diatas tidak dapat dilepaskan dari persoalan pada aspek lain yang juga turut menentukan yaitu rendahnya daya dukung kelembagaan (institutional carrying-capacity) dan organisasi manajerial sebagai prasyarat optimalisasi pengelolaan potensi atau sumberdaya perekonomian. Lemahnya daya dukung kelembagaan tersebut berimplikasi pada mudahnya nasib ekonomi masyarakat dipermainkan oleh fluktuasi pasar yang antara lain disebabkan oleh ulah para pelaku ekonomi yang kuat. Masa depan perekonomian masyarakat semakin terhimpit ditengah permainan kekuatan-kekuatan ekonomi besar disatu sisi serta rendahnya dukungan dan perlindungan regulative negara disisi lain. Dalam kondisi tersebut, sangat masuk akal jika upaya pemberdayaan masyarakat mendapat prioritas penanganan, sedangkan negara dan aktor-aktor lainnya belum begitu banyak disentuh. Namun harus disadari bahwa pemberdayaan pada hakekatnya merupakan proses integral yang melibatkan semua dimensi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan demikian, institusi-institusi diluar masyarakat, yaitu negara dan kalangan swasta sebagai pilar penopang good governance, harus juga diberi perhatian.
Terpusatnya perhatian pada upaya pemberdayaan masyarakat, terutama untuk golongan yang kurang beruntung (powerless), merupakan cara pandang simplistik yang berusaha mengeliminasi persoalan ketidakberdayaan pada kelompok masyarakat. Sementara realitas ketidak berdayaan pada dua pilar good governance lainnya masih agak luput dari perhatian. Hal itu menjadi salah satu penyebab, bahkan penyebab utama, gagalnya program-program pemberdayaan selama ini adalah masih kuatnya peran negara, dan oleh karenanya, sangat bias kepentingan negara yang antara lain dapat dilihat dari model pendekatan yang digunakana (Fakih, 1996). Karenanya, untuk masa-masa yang akan datang, upaya pemberdayaan dalam hal apapun harus terlebih dahulu menjawab beberapa pertanyaan fundamental berikut:
Pertama, siapa atau kelompok mana yang harus diberdayakan? Pertanyaan tersebut akan mengarahkan pada upaya identifikasi secara obyektif dan relatif komprehensif aktor-aktor mana yang menentukan masa depan pembangunan, tetapi mengalami banyak keterbatasan, dan oleh karenaya, harus dijadikan sasaran pemberdayaan. Dalam konteks pemberdayaan ekonomi lokal, pertanyaan tersebut akan mengarah pada economic cluster yang semakin spesifik seperti kelompok petani, nelayan, pengusaha kecil, pedagang eceran, dan sebagainya. Identifikasi semacam itu sangat penting sehingga nantinya dapat ditetapkakn strategi yang tepat dalam sebuah konteks yang spesifik. Sebaliknya, identifikasi yang kabur dan cenderung bias akan berakibat pada kesalahan menentukan kelompok sasaran serta strategi implementasinya. Muaranya adalah, lagi-lagi, terjadinya kegagalan dalam upaya pemberdayaan.
Kedua, dalam hal apa kelompok-kelompok yang telah diidentifikasi tadi harus diberdayakan? Atau singkatnya, apa yang mau diberdayakan? Pertanyaan tersebut berkaitan erat dengan persoalan fundamental apa yang benar-benar dialami suatu kelompok. Dikatakan fundamental apa benar-benar dialami suatu kelompok. Dikatakan fundamental karena persoalan tersebut berhubungan langsung dengan kemampuan dan akses mereka dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan derajat keberdayaannya. Pada tataran yang lebih riil, pertanyaan tersebut akan berhubungan dengan pilihan hidup seseorang atau suatu kelompok, proses definisi kebutuhan untuk mewujudkan pilihan tersebut, bagaimana pengembangan gagasan, bagaimana mengembangkan institusi atau organisasi pendukung, sumberdaya apa yang paling dibutuhkan, apa aktivitas-aktivitas ekonomi pokoknya, bagaimana sistem produksi, dan sebagainya. Dengan demikian, upaya pemberdayaan tidak saja memiliki objek yang jelas tetapi juga fokus yang spesifik.
Ketiga, bagaimana atau dengan cara apa pemberdayaan dilakukan ? pertanyaan tersebut berkaitan dengan strategi yang akan ditempuh untuk mengupayakan pemberdayaan. Pertanyaan itu sangat mendasar, dan karenanya, harus dijawab dengan tepat sehingga upaya implementasi program-program pemberdayaan dapat mencapai tujuan dan sasaran yang diinginkan. Sebaliknya, pilihan strategi yang keliru akan berakibat pada gagalnya misi pemberdayaan yang diemban suatu program atau kebijakan. Atau lebih buruk lagi, program pemberdayaan yang coba diintroduksi untuk memperbaiki nasib target group itu tidak memberikan solusi apa-apa, tetapi malah menciptakan masalah baru.
Ketiga pertanyaan pokok diatas sebenarnya merupakan pertanyaan-pertanyaan derivatif yang terkandung dalam sebuah paradigma. Dengan kata lain, terlepas dari dimensi-dimensi paradigmatik lain, sebuah paradigma akan memiliki implikasi praktis bagi ketiga persolaan tersebut. Kenyataan empiris bahwa ketiga pertanyaan tersebut belum terlalu diperhatikan dalam dinamika dan operasionalisasi kebijakan-kebijakan pemberdayaan di tanah air sekaligus merefleksikan kurang jelasnya bangun paradigma apa yang sebenarnya sedang digunakan. program-program karitatif lainnya. Ambisi pemberdayaan yang dibawa program-program tersebut tidak banyak mengubah realitas ketidakberdayaan kelompok miskin. Secara hipotetis, salah satu penyebab kegagalan itu dapat ditelusuri dari ketidakjelasan jawaban atas ketiga pertanyaan diatas. Bahkan sustainabilitas program-program itu sama sekali tidak dapat dijamin. Begitu pemerintah mengundurkan diri, maka berakhir pula program tersebut. Misi pemberdayaan dengan sendirinya tidak tercapai. Bahkan barisan kaum miskin yang perlu diberdayakan semakin bertambah panjang. Demikian halnya dengan beberapa program pemberdayaan lain yang dijalankan sekarang ini.
Dalam konteks desentralisasi ekonomi dan otonomi daerah yang masih mencari bentuk seperti sekarang ini, pemilihan dan aplikasi suatu strategi pengembangan ekonomi lokal menjadi begitu krusial. Tidak dapat disangkal lagi, bahwa dengan implementasi paket desentralisasi UU No.22/1999 dan UU No.25/1999 per 1 Januari 2001 lalu, tidak sedikit daerah otonom di Indonesia yang hanya mengetahui aspek kewenangannya sebagai birokrasi di daerah, bukan sebagai stimulator pembangunan ekonomi di daerah. Juga terdengar agak ironis apabila suatu daerah otonomi tidak persis mengetahui posisi dan berkah sumberdayanya sendiri karena selama ini tidak pernah secara sistematis membuat dan mengembangkan peta potensi sumberdaya ini.  Dengan logika paling sederhana pun, cukup sukar bagi suatu daerah untuk merumuskan arah dan sasaran pengembangan ekonomi lokal apabila tempat awal berpijaknya (initial steps) tidak diketahui atau tidak dikuasainya (Arifin, 2001).
Lebih lanjut, Arifin (2001) menjelaskan bahwa pendekatan, strategi atau paradigma perencanaan pembangunan ekonomi berbasis permintaan (demand-driven) ini sebenarnya telah lama dikembangkan oleh para ahli ekonomi regional, walaupun tidak pernah secara baik diterapkan di Indonesia. Dalam konteks pengembangan ekonomi lokal, pendekatan ini dilandasi dan diturunkan dari teori-teori ekonomi pembangunan yang sudah mapan, dan didukung dengan bukti empiris yang cukup. Pada intinya, pendekatan berbasis peemintaan ini menyakini bahwa untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang luas (broad-base) suatu daerah minimal harus memiliki dua kondisi sebagai berikut:
Pertama, daerah tersebut harus mampu dan berhasil dalam memasarkan produk (barang dan jasa) ke wilayah lain dalam suatu negara atau ekspor ke luar negeri. Kedua, penerimaan ekspor itu harus menghasilkan dampak ganda (multiplier effect) atau perputaran tambahan pendapatan dalam perekonomian lokal, minimal melalui pembelian faktor produksi dan pengeluaran rumah tangga terhadap barang konsumen oleh segenap aktor ekonomi yang terlibat dalam aktivitas produksi dan ekspor. Kedua prakondisi ini hanya dapat terjadi apabila suatu daerah memiliki suatu keterkaitan yang efisien, yang menghubungkan produsen, pedagang dan supplier di daerah perdesaan dan perkotaan di daerah tersebut dan sekitarnya. Dalam terminologi ekonomi regional, argumen seperti diatas dikenal dengan istilah pengembangan keterkaitan desa-kota atau rural-urban linkages.
Pengembangan ekonomi lokal dengan basis permintaan ini tentu saja diarahkan untuk meningkatkan tingkat keterkaitan atau integrasi daerah-daerah otonomi di Indonesia-khususnya lagi daerah-daerah yang tertinggal-kedalam pasar yang lebih luas atau ke dalam arus utama perekonomian (economic mainstream). Oleh karenanya, pendekatan berbasis permintaan ini sering pula disebut pendekatan berbasis pasar (market-driven) karena orientasi utamanya adalah untuk memperbaiki akses pasar, minimal menghubungkan atau bahkan menciptakan pasar, di tingkat domestik dan internasional, bagi aktor ekonomi produksi dan ekspor di daerah. Fokus pendekatan ini dapat bermacam-macam, namun yang sering dipilih dalam suatu disain implementasi pendekatan berbasis permintaan untuk pengembangan ekonomi lokal adalah dengan kluster ekonomi (economic clusters), terutama yang merupakan kunci atau “starting point” utama di daerah. Pertimbangan fokus kluster ekonomi-bukan semata wilayah geografis – tetapi adalah untuk menerapkan suatu kombinasi strategi keunggulan komparatif (comparative advantage) dan kompetitif sekaligus (competitive advantage).
Istilah kluster ekonomi itu sendiri sebenarnya sangat sederhana, yaitu suatu aktivitas ekonomi yang agak sejenis atau berkelompok dan berbasis suatu komoditas yang sama. Pada tingkat yang lebih luas, kluster ekonomi suatu komoditas tertentu, pasti mencakup perusahaan besar, usaha kecil dan menengah, industri rumah tangga dan institusi pendukung lain yang terlibat dalam produksi, pengolahan, perdagangan dan ekspor dalam konteks integrasi dengan pasar yang lebih luas tersebut. Dengan sendirinya, istilah “ekspor” dalam konteks ini atau dalam ekonomi regional secara umum tidak hanya mencakup kegiatan perdagangan ke luar negeri saja, tetapi juga meliputi aktivitas perdagangan ke daerah lain dalam suatu wilayah ekonomi. Penekanan yang diperlukan adalah pada dampak berganda dari penerimaan perdagangan ekspor tersebut kepada aktivitas ekonomi lain, yang meliputi segenap sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Untuk menjalankan fokus kluster ekonomi itu, seluruh aktor pengembangan ekonomi lokal haruslah memiliki informasi dan pengetahuan mendalam tentang beberapa hal kunci berikut: tingkat permintaan dunia, permintaan domestik, tingkat dan pasokan produksi primer (barang mentah), keterkaitan ke belakang dan ke depan (pengolahan, pengolahan lanjutan, pemasaran ekspor), serta jasa pendukung yang dapat menopang perputaran ekonomi lokal seperti jasa kredit, sarana dan infrastruktur lain yang relevan. Seluruh aktor ekonomi lokal harus pula memiliki pemahaman lebih mendalam tentang kendala dan peluang, tingkat kebekerjaan pasar atau institusi yang melingkupinya, derajat inisiatif, aspek insentif dan disinsentif yang mempengaruhi laju investasi oleh sektor swasta, termasuk pula suatu strategi intervensi kebijakan-baik yang harus dirumuskan oleh pemerintah daerah, maupun oleh pemerintah pusat, plus serangkaian rencana aksi atau implementasi kebijakan tersebut beserta komponen evaluasinya. Salah satu langkah aplikasi pendekatan berbasi permintaan ini adalah pemberdayaan kemitraan atau forum triparit pelaku ekonomi dan stakeholders: swasta, pemerintah dan masyarakat madani (civil society).  Paradigma perencanaan berbasis permintaan di atas akan sangat kompitabel dengan desentralisasi ekonomi atau otonomi daerah, karena merupakan suatu katalisator pada sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good corporate governance) dan diharapkan lebih transparan dan accountable kepada masyarakat luas. Pemberdayaan kemitraan tripartit itu dilandasi pada tujuan dan semangat bersama untuk meningkatkan rasa kepemilikan dan tanggung jawab bersama dalam merumuskan suatu rencana dan kegiatan pembangunan di daerah untuk pengembangan ekonomi lokal.
B.     Rekomendasi terhadap pemerintah kota tual adalah implementasi beberapa program/kegiatan pembangunan berbasis lingkungan yang harus dilaksanakan, khususnya pada pembangunan perikanan dan kelautan adalah sebagai berikut:
a.       Program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir, yang bertujuan mengembangkan kapasitas masyarakat pesisir dalam pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan dengan fokus kegiatan pada pembinaan kelompok ekonomi masyarakat pesisir.
  1. Program pemberdayaan masyarakat dalam pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan, yang bertujuan untuk meningkatkan pengawasan kegiatan ekonomi pesisir dengan melibatkan masyarakat pesisir melalui patroli keamanan wilayah laut dan pesisir berbasis masyarakat dengan fokus kegiatan pada: (i) Pembentukan kelompok masyarakat swakarsa pengamanan sumberdaya kelautan, perikanan serta pulau-pulau kecil dan (ii) Pengembangan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD).
  2. Program peningkatan kesadaran dan penegakan hukum dalam pendayagunaan sumberdaya laut yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran hukum kepada masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya kelautan, dengan focus kegiatan pada: (i) Penyuluhan hukum dalam pendayagunaan sumberdaya laut; (ii) Operasional kapal pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan.
  3. Program peningkatan mitigasi bencana alam laut dan prakiraan iklim laut, yang bertujuan untuk meningkatkan sistem mitigasi bencana dalam memberdayakan masyarakat untuk penanggulangan dini terhadap bencana alam laut dan prakiraan iklim laut. Sasaran yang ingin dicapai dari program ini adalah meningkatkan upaya antisipasi dan penanganan dampak bencana alam, dan menurunnya kerusakan sumberdaya kelautan dan perikanan.
  4. Program peningkatan kegiatan budaya kelautan dan wawasan maritim kepada masyarakat, yang bertujuan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang pemanfaatan potensi kelautan, dengan fokus kegiatan pada penyuluhan budaya kelautan. Sasaran yang ingin dicapai dari program/kegiatan ini adalah pemeliharaan potensi dan lingkungan kelautan.
  5. Program pengembangan budidaya perikanan, yang bertujuan mengembangkan, mengelola dan memanfaatkan sumberdaya perikanan secara optimal, adil dan berkelanjutan, bagi upaya peningkatan devisa dan pendapatan nelayan dan masyarakat pesisir, dengan fokus kegiatan pada: (i) pengembangan bibit ikan unggul; (ii) pendampingan kelompok tani pembudidayaan ikan; (iii) pembinaan dan pengembangan perikanan; (iv) pelatihan keterampilan nelayan dan pembudidayaan ikan. Sasaran yang ingin dicapai dari program ini adalah penataan usaha budidaya dalam rangka peningkatan produksi perikanan.
  6. Program pengembangan perikanan tangkap, yang bertujuan untuk meningkatkan dan memperkuat lembaga ekonomi produksi nelayan sebagai basis pengembangan ekonomi pesisir, dengan fokus kegiatan pada (i) pendampingan pada kelompok nelayan perikanan tangkap; (ii) pembangunan tempat pelelangan ikan; (iii) pemeliharaan rutin/berkala tempat pelelangan ikan; (iv) rehabilitasi tempat pelelangan ikan; (v) pengembangan lembaga usaha perdagangan perikanan tangkap. Sasaran yang ingin dicapai dari program ini adalah peningkatan produksi dan produktivitas perikanan tangkap untuk kesejahteraan masyarakat nelayan.
  7. Program pengembangan sistem penyuluhan perikanan, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas sistem penyuluhan perikanan dengan fokus kegiatan pada: (i) kajian sistem penyuluhan perikanan; (ii) pengembangan kapasitas tenaga penyuluh perikanan dan kelautan. Sasaran yang ingin dicapai dari program ini adalah peningkatan SDM penyuluh perikanan.
  8. Program pengembangan kawasan budidaya laut, payau dan air tawar, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas penggunaan kawasan ini. Sasaran yang ingin dicapai dari program ini adalah optimalisasi pemanfaatan kawasan dan perlindungan biota laut dan pesisir.
  9. Program kerjasama pembangunan, yang bertujuan untuk meningkatkan kerjasama lembaga-lembaga mitra pemerintah untuk mewujudkan keterpaduan program pembangunan daerah. Khususnya mitra yang telah dan sedang berkiprah dibidang perikanan dan kelautan seperti Swiss Contact dengan program pengembangan budidaya rumput laut dan WWF dengan program konservasi kelautan.
  10. Program penataan ruang, yang bertujuan untuk mengembangkan pola dan struktur tata ruang wilayah kelautan dan pesisir yang seimbang, dengan fokus kegiatan pada kajian tata ruang wilayah kelautan dan pesisir, yang hingga kini belum tersedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar