Selasa, 22 November 2011

Sumber Daya Ikan (SDI) di Laut Arafura saat ini sudah mencapai lebih dari 100%, atau dapat dikategorikan telah overfishing


Pertanyaannya adalah sampai sejauh mana perairan laut Indonesia Bagian Timur bisa dikembangkan untuk perikanan tangkap dengan memperhatikan aspek keberlanjutan sumberdaya. Apakah perairan Indonesia Bagian Timur termasuk bagian dari 25% perikanan tangkap dunia, yang menurut FAO bisa dikembangkan lebih lanjut?
Indonesia cenderung melakukan intensifikasi perikanan tangkap. Artikel yang diterbitkan Jakarta Post (14 Januari 2004) melaporkan investasi yang dilakukan oleh salah satu perusahaan perikanan tangkap Indonesia senilai Rp. 2 triliun (setara US$ 235 juta), untuk memperluas armada perikanan di perairan Papua. dengan menyerahkan 5% saham dari projek tersebut kepada Pemerintah Papua.
Laut Arafura merupakan salah satu daerah penangkapan ikan yang sangat potensial dengan sumberdaya ikan utama ikan demersal di Indonesia bahkan Dunia. Saat ini, perairan tersebut merupakan salah satu daerah utama penangkapan ikan demersal di Indonesia, dimana dalam 3 dekade terakhir perkembangan upaya pemanfaatan sumberdaya ikan di Laut Arafura semakin meningkat yang ditandai dengan meningkatnya jumlah perusahaan dan armada perikanan yang beroperasi di perairan Arafura. Sementara, sejumlah perusahaan baru juga telah merencanakan untuk melaksanakan usaha penangkapan di perairan tersebut.
indikator terjadinya overfishing, antara lain ukuran udang yang ditangkap semakin kecil, serta makin lamanya waktu operasi penangkapan per trip maupun penurunan laba marjinal (profit margin). Dilain pihak, terjadinya overfsihing tersebut dapat dilihat dari penurunan produktivitas rata-rata hasil tangkapan, yang beberapanya disebabkan karena manajemen pengelolaan yang belum sempurna, lemahnya pengawasan maupun pengendalian dan penegakan hukum di laut terhadap kegiatan penangkapan serta tingginya intensitas kegiatan Ilegal fishing “Oleh sebab itu, guna merumuskan solusi dari permasalahan di atas, diperlukan langkah-langkah kebijakan untuk pengelolaan perikanan dalam rangka pemulihan sumberdaya ikan di laut Arafura menjadi lebih baik lagi.
Pemerintah Indonesia bertanggung jawab menetapkan pengelolaan sumberdaya alam Indonesia bagi kepentingan seluruh masyarakat, dengan memperhatikan kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya tersebut. Hal ini juga berlaku bagi sumberdaya perikanan, seperti ikan, lobster dan udang, teripang, dan kerang-kerangan seperti kima, dan kerang mutiara. Sumberdaya ini secara umum disebut atau termasuk dalam kategori dapat pulih. Namun, kemampuan alam untuk memperbaharui ini bersifat terbatas. Jika manusia mengeksploitasi sumberdaya melelebihi batas kemampuannya untuk melakukan pemulihan, sumberdaya akan mengalami penurunan, terkuras dan bahkan menyebabkan kepunahan. Penangkapan berlebih atau ‘over-fishing’ sudah menjadi kenyataan pada berbagai perikanan tangkap di dunia – Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) memperkirakan 75% dari perikanan laut dunia sudah tereksploitasi penuh, mengalami tangkap lebih atau stok yang tersisa bahkan sudah terkuras – hanya 25% dari sumberdaya masih berada pada kondisi tangkap kurang.
Daerah penangkapan ikan juga dikontrol oleh permintaan pasar untuk ikan. Permintaan untuk produk ikan akan dipengaruhi oleh kapasitas ketersediaan dari tempat tersebut, sebagai contoh, adalah baru saja dikembangkan sebagai daerah penangkapan ikan. Jadi, daerah penangkapan ikan selalu memiliki nilai yang relatif, berhubungan dengan keseimbangan ekonomi, daerah penangkapan ikan lainnya, efisiensi usaha perikanan dan permintaan ikan di dalam pasar. Begitulah, harus selalu berusaha menemukan daerah penangkapan ikan yang ekonomis dan efektif dari metode penangkapan ikan yang dimodernisasi.
Penangkapan berlebih diartikan sebagai jumlah usaha penangkapan sedemikian tinggi dimana stok ikan tidak mempunyai kesempatan (waktu) untuk berkembang, sehingga total hasil tangkapan lebih rendah dibandingkan pada jumlah usaha yang lebih rendah. Evaluasi terhadap status perikanan tangkap hanya bermanfaat jika kita mempertimbangkan juga bahwa jumlah usaha penangkapan dan MSY itu sendiri kurang baik sebagai sebuah target dalam pengelolaan. Sebagai gantinya, pengelolaan harus difokuskan pada perkiraan jumlah unit usaha penangkapan yang menghasilkan nilai MSY, yaitu MSE atau Usaha Maksimum Lestari (nilai effort yang menghasilkan tangkapan MSY.  Hampir semua analisis yang dilakukan terhadap perikanan tangkap sebenarnya sudah menunjukkan kondisi dimana MSE sudah terlewati, sehingga perikanan menghasilkan tangkapan yang menurun karena terjadinya tangkap lebih, Pengelola perikanan tidak memperhatikan MSE sehingga hampir tidak mempunyai strategi yang jelas tentang pembatasan usaha penangkapan. Sistem perijinan usaha yang ada saat ini bisa digunakan untuk membatasi jumlah usaha melalui pembatasan jumlah ijin usaha, namun sejauh ini belum ada ketentuan, baik untuk membatasi kapasitas penangkapan maupun prosedur untuk menghentikan perijinan ketika batas (kapasitas penangkapan) tersebut sudah tercapai.
Konsep MSY sudah dibuktikan tidak efektif sebagai alat pengelolaan perikanan, tidak saja di Indonesia, tetapi juga pada berbagai perikanan di dunia. Khusus untuk Indonesia dengan karakteristik perikanan tangkap ‘multi-alat’ dan ‘multi-spesies’, hampir tidak mungkin atau paling tidak, sangat mahal sekali untuk mendapatkan data yang memenuhi kualitas dan bisa digunakan untuk menduga MSY . Bahkan, jika data tersedia maka hasil perhitungan tampaknya akan mendapatkan dugaan MSY yang terlalu optimistik. Dengan demikian, sangat tepat dan sudah saatnya untuk tidak lagi berpedoman semata pada nilai MSY sebagai tujuan pengelolaan.
Masalah lain yang juga sering terjadi adalah interpretasi pemerintah terhadap penduga dari MSY, dan bagaimana hasil tangkapan yang didapat digunakan untuk menghasilkan rekomendasi pengelolaan perikanan tangkap, Pembuat kebijakan menafsirkan ‘hasil tangkapan’ di bawah nilai MSY sebagai tanda adanya ruang bagi perluasan atau peningkatan armada penangkapan ikan. Interpretasi tersebut kurang dapat dipertanggungjawabkan. Tampaknya, perbedaan antara total hasil tangkapan Indonesia saat ini yang mencapai 4,4 juta ton dengan nilai dugaan MSY sebesar 5.0 juta ton juga ditafsirkan secara keliru.
Stok sumberdaya ikan pada beberapa wilayah pengelolaan perikanan berada pada kondisi tereksploitasi penuh atau bahkan mengalami penangkapan berlebih. Saran kebijakan kepada pemerintah yang diajukan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir mensyaratkan penurunan atau paling tidak jangan lagi menambah tekanan terhadap sumberdaya yang ada saat ini. Namun kenyataannya masih banyak kebijakan operasional pemerintah (DKP) pada tingkat lapang yang mengupayakan peningkatan hasil tangkap melalui perluasan usaha penangkapan (effort).
Masa depan perikanan tangkap Indonesia, dengan demikian, akan sangat tergantung dari:
- Komitmen pemerintah (DKP) untuk menggeser kebijakan perikanan dari pengelolaan beorientasi pada pengembangan usaha menuju pada pengelolaan yang berkelanjutan, bisa menerima atau bahkan menginginkan hasil tangkap yang stabil, serta menurunkan jumlah usaha penangkapan kalau diperlukan
- DKP dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan dapat menerima prinsip bahwa ‘sumberdaya tidak akan pernah habis’, paling tidak untuk perikanan tangkap, tidak berlaku atau eksploitasi tidak lagi menguntungkan
- Pengelola perikanan tangkap memahami dan menerima bahwa pemindahan usaha penangkapan dari wilayah yang mengalami tangkapan berlebih ke wilayah yang disebut ‘sumberdaya tidak akan pernah habis’ merupakan rencana yang ‘kurang tepat’ dan bahkan menyebabkan perikanan tangkap setempat mengalami kolaps, bukan peningkatan PDB. - Pergeseran pengelolaan perikanan dari ketergantungan terhadap model MSY yang terlalu sederhana menuju pengelolaan dengan pendekatan ekosistem, dimana di dalamnya kawasan perlindungan laut akan memainkan peranan yang sangat penting.
agar pengelolaan dapat dilakukan secara benar dan terencana, maka diperlukan suatu wadah bersama yang akan mengevaluasi dan memperbaiki pelaksanaan rencana pengelolaan perikanan di setiap daerah dan wilayah pengelolaan perikanan. Terkait dengan kebijakan perikanan tangkap di Indonesia, sasaran pengelolaan ditentukan dari nilai MSY. Dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian, sasaran pengelolaan perikanan tangkap Indonesia telah ditetapkan 80% dari nilai MSY. Karena keuntungan ekonomi maksimum berada di bawah nilai MSY. prinsip kehati-hatian pada kasus ini cukup beralasan, baik secara logika maupun dalam perhitungan ekonomi (rupiah).

1 komentar:

  1. How online casino is helping a customer to save a life - Ambien Hoppie
    How online casino is helping a customer to save a life. If you're at a gaming platform, you have 온라인 카지노 슬롯 머신 many options

    BalasHapus