Selasa, 22 November 2011

Prinsip Pengelolaan Sumber Daya Perikanan


1.1. Prinsip Pengelolaan Sumber Daya Perikanan
Dalam mengelola sebuah sumber daya alam terdapat prinsip-prinsip yang harus diperhatikan.  Demikian juga halnya pengelolaan sumber daya perikanan, prinsip-prinsip tersebut antara lain kelestarian sumber daya alam, kelestarian budaya, ekonomi, partisipatif, akuntabilitas dan transparansi.

bullet
bullet
bullet
bullet
bullet

1.1.1.      Prinsip Kelestarian Sumber Daya Alam

Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan pada dasarnya memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahtreraan seluruh masyarakat.  Oleh karena itu kelestarian sumber daya harus dipertahankan sebagai landasaan utama untuk mencapai kesejahteraan tersebut.  Misalkan, sumber daya hayati laut, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan di harapkan tidak menyebabkan rusaknya fishing ground, spawning ground maupun nursery ground ikan.  Selain itu, pengelolaan dan pemanfaatan ikan tidak pula merusak hutan mangrove, terumbu karang dan padang lamun yang memiliki keterkaitan ekologis dengan ikan.
Untuk melaksanakan prinsip pelestarian ini, aspek penggunaan teknologi penangkapan ikan, budidaya di laut dan tambak merupakan hal yang harus menjadi perhatian.  Teknologi yang harus digunakan merupakan teknologi yang ramah lingkungan sehingga tidak mengakibatkan menurunnya daya dukung lingkungan dan tidak menimbulkan konflik sosial di masyarakat nelayan, selain itu jika pengelolaan dan pemanfaatan ikan dilakukan dengan memperhatikan hal di atas, maka dalam pemanfaatan sumber daya ikan tidak akan mengalami tangkap lebih (over exploitation).
Aspek kelestarian ini juga berkaitan dengan kegiatan monitoring, controlling dan evaluation terhadap ketersediaan sumber daya ikan termasuk kondisi lingkungan perairan laut dari ancaman pencemaran.  Dalam upaya tersebut, pemerintah daerah dapat menentukan jumlah total sumber daya ikan yang diperbolehkan untuk ditangkap atau total allowable cath (TAC) untuk setiap tahunnya.

1.1.2. Prinsip Kelestarian Budaya

Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dalam era otonomi daerah sebaiknya harus memperhatikan juga kearifan lokal, pengetahuan lokal, hukum adat, dan aspek kelembagaan lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya tersebut.  Hal ini penting karena di Indonesia ada beberapa daerah yang memiliki aturan pengelolaan sumberdaya yang bersifat tradisional.  Contohnya adalah: sasi di Maluku, rompong di Sulawesi Selatan, dan ondoafi di Papua.  Walaupun sekarang ini sebagian dari aturan lokal tersebut sudah tidak berjalan, tetapi paling tidak pemerintah memberikan sedikit apresiasi terhadap budaya setempat  Oleh karena itu dalam pelaksanaan otonomi daerah ini, prinsip kelestarian budaya dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya yang sudah berlaku turun temurun perlu dikembangkan dan dikukuhkan kembali karena di dalamnya terkandung nilai yang berkaitan dengan upaya pelestarian lingkungan.
 1.1.3.  Prinsip Ekonomi

Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan dalam konteks otonomi daerah diharapkan juga mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah dan pendapatan asli daerah (PAD) sehingga mampu mewujudkan kemandirian dan keadilan ekonomi.  Berkembangnya kemandirian dan keadilan ekonomi di daerah merupakan perwujudan demokrasi ekonomi.  Hal ini akan tercermin pada pemerataan alokasi dan distribusi sumber daya alam secara efisien dan berkelanjutan kepada masyarakat tanpa memprioritaskan suatu kelompok masyarakat dengan memarginalkan kelompok lainnya.
Untuk mendukung hal ini, pemerintah daerah diharapkan mampu memperbaiki aspek kelembagaan. Misalkan, penetapan kebijakan publik, insentif, disinsentif, peraturan daerah yang kondusif bagi pengembangan kegiatan ekonomi di daerah yang berbasis pada keterlibatan masyarakat setempat dalam pemanfaaatn sumber daya alam lokal.
 1.1.4. Prinsip Partisipatif

Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya perikanan akan dapat berjalan dengan baik jika melibatkan partisipasi semua pihak yang terkait, yaitu pemerintah daerah, kalangan dunia usaha, serta masyarakat sendiri. Adanya partisipasi seluruh pemangku kepentingan akan mewujudkan rasa memiliki dan tanggung jawab untuk bersama-sama menjaga kelestarian sumber daya perikanan tersebut.  Dengan demikian, aspek pengelolaan, pemanfaatan, pengawasan, dan kelestarian menjadi tanggungjawab bersama dari semua komponen masyarakat.
 Prinsip Akuntabilitas dan Transparansi
Pengelolaan dan pemanfatan sumber daya perikanan harus memperhatikann juga aspek akuntabilitas dan transparansi dalam pelaksanaannya.  Arti prinsip akuntabilitas adalah segala kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan daerah dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik sehingga masyarakat dapat memberikan penilaian dan evaluasi.  Adapun prinsip transparansi adalah segala keputusan politik, kebijakan publik dan peraturan yang dibuat daerah kabupaten atau kota, diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan distribusi dan alokasi pemanfaatan sumber daya alam.  Hal ini penting agar terwujud pemerintahan yang bersih, bebas kolusi, korupsi dan nepotisme, serta mendapatkan dukungan dari masyarakat luas dalam pelaksanaan otonomi daerah di wilayah laut. 
 Co-management didefinisikan sebagai pembagian tanggungjawab dan wewenang antara pemerintah dan pengguna sumber daya alam lokal (masyarakat) dalam pengelolaan sumber daya alam dalam hal ini perikanan.  Konsep co-management merupakan jembatan penghubung antara pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya perikanan.
            Pengelolaan sumber daya perikanan dalam suatu kawasan seharusnya merupakan gabungan antara pemerintah sebagai pemegang kebijakan dan masyarakat lokal sebagai subjek pengelolaan sumber daya, dengan keterlibatan masyarakat  sejak perencanaan hingga evaluasi pengelolaan.
            Berikut ini ada satu contoh tulisan yang kontra terhadap co-management yang dikeluarkan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) (download tanggal 25 Mei 2007)
CO-Management: Memanipulasi Legitimasi Rakyat Atas Sumberdaya Pesisir dan Laut
CO-Management demikian orang-orang konservasionis mempopulerkan konsep pengelolaan Taman Nasional Laut (TNL), yang saat ini lagi trend didorong untuk menjawab berbagai gejolak penolakan konsep pengurusan SDA dan sumber-sumber kehidupan rakyat dengan pendekatan TNL. CO-Management yang diusung sebagai sebuah konsep pengelolaan multi-pihak, pada kenyataannya di lapangan menunjukkan hanya sebagai slogan dan bahkan dijadikan “surga telinga” bagi masyarakat, agar melegitimasi pengelolaan SDA dalam bentuk TNL.
Pengelolaan bersama (CO-Management) dalam prakteknya sebetulnya sebuah upaya sistimatik untuk melakukan penjinakan dan pembunuhan atas sikap kritis masyarakat  terhadap pengurusan TNL yang tidak populis. CO-Management merupakan upaya para pihak pro konservasionis ansi untuk mencari “Tameng” atas protes yang dipastikan muncul dari masyarakat.
Hal ini dapat terlihat dari gejolak penolakan yang timbul dari masyarakat sekitar kawasan TNL di Indonesia, seperti Taman Nasional Bunaken di Sulawesi Utara, Taman Nasional Wakatobi di Sulawesi Tenggara, Taman Nasional Komodo di Nusa Tenggara Timur, bahkan pada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan Taman Nasional Togean yang baru saja ditetapkan pada tahun 2004 yang lalu.
Tabel. Taman Nasional Laut di Indonesia (DitJen PKA, 2000).
 No
 Nama
Luas (Ha) 
Surat Keputusan 
1
TN Kepulauan Seribu
108,000 
MenHut/162/Kpts-II/1995 
2
TN Karimunjawa 
111,625
MenHut/75/Kpts-II/1999 
3
TN Taka Bone Rate 
530,765 
MenHut/280/Kpts-II/1992 
TN Wakatobi 
1,390,000 
MenHut/393/Kpts-II/1996 
TN Bunaken 
89,065 
MenHut/730/Kpts-II/1991 
TN Teluk Cenderawasih 
1,453,500 
MenHut/472/Kpts-II/1993 
TN Ujung Kulon
78,619 
MenHut/284/Kpts-II/1992 
TN Komodo 
181,700 
MenHut/306/Kpts-II/1992 
Selain hal tersebut, tidak jarang pendekatan CO-Management yang dilakukan oleh para pihak pro konservasi ansi mengotori budaya masyarakat setempat dengan dana-dana proyek fisik dan pemberdayaan masyarakat yang pada akhirnya bermuara pada penetapan zonasi yang katanya ”partisipatif”.
Fakta dilapangan justru menunjukkan proyek diimplementasikan tidak berdasarkan kebutuhan masyarakat setempat. Parahnya lagi, proses penetapan zonasi telah mampu merusak sistem administrasi kelembagaan di tingkat desa/kampung, dimana proses pembentukan kelompok-kelompok pengelola
1.3.  Management of Fishing Capacity

            Berdasarkan pada kenyataan penurunan yang sangat drastis pada stok sumberdaya ikan dunia, maka FAO pada tahun 1998 mencoba mencari terobosan baru guna mengatasi permasalahan yang ada.  Oleh karena sumber utama dari semua kerusakan perikanan di beberapa negara adalah sulitnya mengontrol input (armada penangkapan) bagi perikanan, maka pengelolaan perikanan kemudian didekati dengan pengaturan kapasitas penangkapan dari alat tangkap itu sendiri atau dalam istilah FAO adalah Management of Fishing Capacity.  Untuk mewujudkan rencana besar tersebut, FAO mengajak seluruh negara untuk berpartisipasi dengan mengelola perikanannya seefisien mungkin dan menerapkan Management of Fishing Capacity sebelum tahun 2005.
Sejak dideklarasikan sampai saat ini, konsep fishing capacity telah menjadi wacana hangat pakar perikanan dalam berbagai event pertemuan ilmiah, dan terus mengalami penyempurnaan baik dari aspek konsep, metoda maupun pelaksanaannya.  Sebagai acuan bersama, fishing capacity kemudian diartikan sebagai kemampuan input perikanan (unit kapal) yang digunakan dalam memproduksi output (hasil tangkapan), yang diukur dengan unit penangkapan atau produksi alat tangkap lain.  Ringkasnya, fishing capacity adalah kemampuan unit kapal perikanan (dengan segala aspeknya) untuk menangkap ikan.  Tentu saja kemampuan ini akan bergantung pada volume stok sumberdaya ikan yang tertangkap (baik musiman maupun tahunan) dan kemampuan alat tangkap ikan itu sendiri.  Berdasarkan penghertian tersebut overcapacity kemudian diterjemahkan sebagai situasi dimana berlebihnya kapasitas input perikanan (armada penangkapan ikan) yang digunakan untuk menghasilkan output perikanan (hasil tangkapan ikan) pada level tertentu.  Overcapacity yang berlangsung terus menerus pada akhirnya akan menyebabkan overfishing, yaitu kondisi dimana output perikanan (hasil tangkapan ikan) melebihi batas maximumnya.
            Pengaturan sumberdaya ikan yang didasarkan pada penghitungan jumlah stok ikan dan beberapa metode pengaturan penangkapan ikan sudah banyak dilakukan.  Namun demikian, usaha-usaha tersebut belum juga memperlihatkan kemajuan yang menggembirakan.  Bahkan, angka-angka potensi stok sumberdaya ikan yang dijadikan dasar pengelolaan sumberdaya ikan sering diragukan kebenarannya dan tidak jarang menjadi bahan perdebatan berkaitan dengan angka-angka yang kurang sesuai dengan kondisi sesungguhnya.  Bertolak dari fakta tersebut diatas, maka sudah waktunya kita untuk segera membenahi model pengelolaan perikanan khususnya perikanan skala kecil di pesisir dengan menerapkan Management of Fishing Capacity seperti yang diimbau oleh FAO.
            Meskipun tidak memberikan jawaban kuantitatif akan besaran kapasitas maksimum suatu perikanan, pendekatan Fishing Capacity layak untuk dipertimbangkan dalam pengelolaan sumberdaya ikan.  Disamping karena metoda yang dikembangkan tidak memerlukan data yang sulit, metode penghitungan  Fishing Capacity juga sangat cocok untuk dikembangkan di negara-negara berkembang dimana sistem pendataannya kurang begitu sempurna.  Dibandingkan dengan metoda penghitungan analitik konvensional yang relatif sulit dan memerlukan waktu yang relatif panjang, pendekatan Fishing Capacity memberikan alternatif pemecahan bagi pengelolaan sumberdaya ikan secara cepat dan sederhana dengan tingkat keilmiahan yang bisa dipertanggung jawabkan.  Dengan demikian, metoda Fishing Capacity dapat dijadikan alternatif utama bagi dasar pengelolaan sumberdaya ikan pada perairan-perairan yang masih langka data-data penelitian ilmiahnya.
            Mengingat hampir 80% perikanan Indonesia didominasi oleh perikanan skala kecil yang beroperasi di wilayah pesisir dimana konflik dan degradasi paling dominan terjadi, maka mandat pengelolaan perikanan yang lebih besar perlu diberikan kepada pemerintahan lokal, agar pengelolaan sumberdaya ikan termasuk jumlah armada maupun jenis alat tangkap yang dioperasikan dapat dikontrol berdasarkan wilayah perairan secara akurat.
2.1. Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem
Bagaimana menjaga keanekaragaman sumberdaya hayati laut Indonesia agar memberi manfaat secara berkesinambungan? Conservation International, menggabungkan diri pada tim teknis yang disebut Komite Nasional Konservasi Laut Indonesia (Komnasko Laut). Tugas utama dari tim ini adalah menyusun draft rekomendasi kebijakan dan strategi konservasi laut di Indonesia.
Komnasko Laut dibentuk berdasarkan SK Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan No. 43 tahun 2004. Anggota Komnasko terdiri dari berbagai instansi pemerintah seperti DKP, Bappenas, PHKA, LH, Bangda, LIPI, juga berasal dari berbagai LSM seperti CI, WWF, TNC dan Kehati.
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mmpi5102/isimat2_1_files/image002.jpg
Jaring ikan nelayan, Foto : ©CI.
Sampai saat ini Komnasko Laut baru menggodok satu draf rekomendasi kebijakan untuk disampaikan kepada Departemen Kelautan dan Perikanan, yaitu tentang pembangunan perikanan yang berkelanjutan di Indonesia. "Intinya rekomendasi ini menyampaikan perlunya perubahan paradigma kebijakan perikanan laut tangkap dari pendekatan Tangkapan Maksimum Berimbang Lestari (MSY) ke pendekatan berbasiskan Ekosistem," kata Khazali, Marine Policy Officer CI Indonesia. Selama ini pendekatan yang digunakan untuk menetapkan kuota jumlah ikan yang ditangkap adalah dengan MSY. Namun, khusus untuk Indonesia dengan karakteristik perikanan tangkap yang bermacam-macam, dan menangkap berbagai spesies ikan (multi-spesies), penerapan pendekatan MSY adalah tidak mudah. Sehingga, data berkualitas untuk menduga MSY, hampir tidak mungkin diperoleh, kalau pun ada, akan sangat mahal.
Penyusunan rekomendasi ini telah digodok selama kurang lebih dua tahun melalui Kelompok Kerja Marine Protected Area (MPA) dan Pokja Perikanan Berkelanjutan Komnasko Laut. Setelah melalui serangkaian pertemuan, secara resmi kedua Pokja tersebut menyampaikan rekomendasinya pada Juli 2006 kepada Tim Teknis Komnasko untuk dibahas dan didiskusikan.  Kita berharap agar rekomendasi tersebut dapat secepatnya diimplementasikan agar kelestarian sumber daya perikanan kita tetap lestari.
Pengelolaan perikanan berbasis ekosistem sangat relevan untuk srategi pembangunan berkelanjutan, dimana pembangunan berkelanjutan mempunyai fungsi  untuk menjamin beberapa hal berikut ini:
1.  Proses ekologi di laut termasuk aliran air dan nutrien, jaringan makanan dan struktur komunitas, serta hubungan antar ekosistem
2.   Keanekaragaman biologi laut termasuk kemampuan untuk berubah secara evolusi.
3.  Kelangsungan hidup untuk seluruh populasi spesies laut asli sesuai dengan fungsinya dalam komunitas biologi.
Sesuai dengan tujuannya untuk memelihara keterpaduan ekosistem maka pengelolaan berbasis ekosistem memerlukan pola pembangunan yang menjamin hal-hal berikut ini:
1. Hubungan antar dimensi ekologi (populasi, spesies, habitat, region) harus diperhitungkan, tidak sekedar memperhatikan dampak pada satu level saja.
2.  Perencanaan dan pengelolaan terhadap entitas ekologi dengan batas yang diketahui, dipadukan dengan batas sektoral, yurisdiksi, dan batas administrasi lainnya.
3. Data dikumpulkan untuk pengelolaan berbasis ekosistem sebagai landasan bagi sektoral dan integrasi sektoral.
4.  Pola pengelolaan harus terus dipantau dengan membandingkan antara kesehatan laut dan indikator berbasis ekosistem, dan dapat diadaptasi sesuai dengan adanya perubahan lingkungan maupun perubahan lainnya.
5.  Sistem nilai alam dan kemanusiaan harus diperhitungkan dalam kegiatan perencanaan dan pengelolaan secara terpadu sehingga nilai keragaman biologi harus dimengerti dan diselaraskan sebagai bagian penting dalam proses perencanaan dan pengelolaan, sedangkan nilai kemanusiaan memainkan peranan yang dominan dalam memutuskan pemanfaatan laut.
2.2. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang

Terumbu karang adalah ekosistem khas laut dangkal di kawasan tropis yang memiliki keunikan dan keindahan yang khas dan pemanfaatannya harus secara alami.  Terumbu karang dibentuk dan didominasi terutama oleh karang batu atau algae berkapur.  Ekosistem ini memiliki produktivitas biologi dan keanekaragaman hayati yang tinggi.  Kedua hal tersebut memberi peluang manusia untuk memperoleh manfaat berupa sumberdaya ikan.  Keindahan terumbu karang sering ditawarkan sebagai objek wisata bahari.  Selain itu, karena strukturnya yang kuat,  terumbu karang juga merupakan perlindungan alami bagi kawasan pesisir.
            Terumbu karang merupakan ekosistem yang amat peka dan sensitif sekali.  Jangankan dirusak, diambil sebuah saja, maka rusaklah keutuhannya.  Ini dikarenakan kehidupan terumbu karang didasari oleh hubungan saling tergantung antara ribuan makhluk.  Rantai makanan adalah salah satu dari bentuk hubungan tersebut.  Proses terciptanya terumbu karang juga tidak mudah, terumbu karang membutuhkan waktu berjuta-juta tahun hingga tercipta secara utuh dan indah.
Topik pengelolaan ekosistem terumbu karang yang akan kita bahas adalah:
bullet
bullet
bullet
bullet

http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mmpi5102/back_b1.gif
2.2.1. Fungsi Ekologis dan Ekonomis Terumbu Karang

            Terumbu karang merupakan rumah bagi banyak mahkluk hidup laut.  Diperkirakan lebih dari 3.000 species dapat dijumpai pada terumbu karang yang hidup di Asia Tenggara.  Terumbu karang lebih banyak mengandung hewan vertebrata.  Beberapa jenis ikan seperti kepe-kepe dan betol menghabiskan seluruh waktunya diterumbu karang, sedangkan ikan lain seperti ikan hiu atau ikan kuwe lebih banyak menggunakan waktunya di terumbu karang untuk mencari makan.  Udang lobster, ikan scorpion dan beberapa jenis ikan karang lainnya memanfaatkan terumbu karang sebagai tempat bersarang dan memijah.
Fungsi ekologis terumbu karang adalah sebagai berikut (Tomascik et al.,1997 dalam Sondita dan Bachtiar, 2002):
  1. Terumbu karang berfungsi sebagai habitat tempat memijah, berkembangnya larva (nursery) dan mencari makan bagi banyak sekali biota laut, banyak diantaranya mempunyai nilai ekonomis tinggi.
  2. Terumbu karang merupakan gudang keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi.
  3. Terumbu karang melindungi pantai dan ekosistem pesisir dari hempasan gelombang dan dampak langsung dari angin puyuh.
  4. Terumbu karang merupakan ekosistem laut tropis yang paling kompleks dan produktif.
  5. Ekosistem terumbu karang mempunyai peran fungsional yang penting dalam siklus biogeokimia global.
  6. Terumbu karang disekitar pulau kecil merupakan sumber utama pasir pantai dan gosong yang mendukung ekosistem yang kompleks.
  7. terumbu karang merupakan sumber bermacam-macam bahan makanan (ikan dan rumput laut).
  8. Terumbu karang merupakan sumber penting bahan bio aktif yang berguna dalam pembuatan obat-obatan.
  9. Terumbu karang merupakan lokasi wisata yang sangat populer.
  10. Terumbu karang menyediakan kesempatan untuk penelitian dan pendidikan.
 2.2.2. Jenis-Jenis Terumbu Karang

Terumbu karang dapat diklasifikasikan menjadi 4 tipe berdasarkan bentuk dan lokasinya:

3.      Atol,
4.      Patch reefs.
Pada suatu terumbu karang terdapat variasi habitat yang mempunyai komunitas berbeda, sehingga masing-masing mempunyai nama tertentu, misalnya:

  1. Rataan terumbu (reef flat)
  1. Tubir (reef slope)
3.      Goba (lagoon)
4.      Gudus (reef crest)

Berikut ini adalah Gambar keberadaan terumbu karang dilihat secara menyeluruh, baik dari kedalaman maupun posisinya.
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mmpi5102/isimat2_2b_files/image002.gif








2.2.2. Jenis-Jenis Terumbu Karang

Terumbu karang dapat diklasifikasikan menjadi 4 tipe berdasarkan bentuk dan lokasinya:

1.      Terumbu tepi (fringing reef), adalah terumbu karang yang terdapat di pantai suatu pulau atau benua. Tipe ini merupakan terumbu yang paling umum, misalnya di Pantai Pasir Putih, Pantai Bama, Gili Ketapang.
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mmpi5102/g2_1a2.gif
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mmpi5102/g2_1a.gif


2.      Terumbu penghalang (barrier reef), merupakan terumbu karang yang berbentuk memanjang melindungi pulau (benua) dari lautan atau samudera dan memiliki goba (lagoon)  diantara terumbu dan pulau. Contoh: terumbu penghalang Palahido di Kepulauan Tukang Besi dan terumbu penghalang Batu Daka di Kepulauan Togian. Di Indonesia dilaporkan ada 76 lokasi yang sebagian besar ada di sekitar Pulau Sulawesi dan Kepulauan Maluku (Tomascik et al., 1997)
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mmpi5102/g2_2a2.gif
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mmpi5102/g2_2a.gif

3.      Atol, merupakan terumbu karang yang berbentuk cincin yang diselingi oleh saluran yang mengelilingi suatu goba (lagoon). Contoh: Atol Lintea Selatan, Kepulauan Tukang Besi, Atol Taka Bone Rate.
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mmpi5102/g2_3a2.gif

http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mmpi5102/g2_3a.gif

4.      Patch reefs. Termasuk diantaranya adalah terumbu yang selalu tenggelam (shoal, taket) atau hanya muncul ketika surut terendah (gosong, taket). Contoh: Taket Kayu di Perairan Situbondo

http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mmpi5102/g2_4a.gif
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mmpi5102/g2_4a2.gif

2.2.2. Jenis-Jenis Terumbu Karang.

Pada suatu terumbu karang terdapat variasi habitat yang mempunyai komunitas berbeda, sehingga masing-masing mempunyai nama tertentu, misalnya:



1.      Rataan terumbu (reef flat) adalah merupakan bagian dari terumbu yang relatif rata dengan kedalaman biasanya di bawah 3 meter.
http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mmpi5102/g2_a1.gif


2.      Tubir (reef slope) adalah bagian terumbu yang berupa lereng yang menghubungkannya ke dasar laut berpasir.  Daerah ini mempunyai kemiringan paling tinggi.



http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mmpi5102/g2_a2.gif



  1. Goba (lagoon) adalah bagian terumbu yang dalam dan dibatasi oleh tubir atau rataan terumbu di sekelilingnya. 

http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mmpi5102/g2_a3.gif






http://www.ut.ac.id/html/suplemen/mmpi5102/g2_a3b.gif






4.      Gudus (reef crest) adalah bagian terumbu yang mempertemukan rataan terumbu dan tubir.  Bagian ini biasanya muncul ke atas lebih tinggi daripada rataan terumbu dan merupakan tempat pecahnya ombak.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar