Selasa, 22 November 2011

Ekonomi Pembangunan Perikanan


1.    Konsep Green GDP adalah :

Ekonomi lingkungan ada karena adanya asumsi pada ekonomi pasar tidak selalu menperhatikan tentang lingkungan. Tetutama lingkungan baik barang dan jasa yang biasanya tidak ada persaingan, tidak eksklusif bahkan keduannya. Hal tersebut memdorong tiap orang untuk tidak mau membayar untuk itu. Perbedaan antara pasar “sempurna” dan lingkungan sebagai alas an fundamental mengapa aktifitas ekonomi menyebabkan degradasi lingkungan. Perbedaan tersebut menyebabkab munculnya ilmu ekonomi lingkungan, sebagai intervensi kebijakan publik dalam mengalokasikan sumberdaya lingkungan melalui kegiatan non market atau untuk memperbaiki kegagalan pasar.
Suatu ketidakkonsistenan antara teori ekonomi dengan penanganan lingkungan adalah kondisi perekonomian yang disebut dengan kondisi eksternalitas. Dalam teori ekonomi pasar, produsen harus membayar semua biaya material dan jasa yang digunakan untuk memproduksi output termasuk pembuangan limbah. Secara sama konsumen yang membeli barang tersebut juga membayar semua biaya tersebut termasuk pembuangan limbah. Dalam dunia nyata hal tersebut tidak benar. Seorang produsen harus membeli mesin dan bahan mentah yang diperlukan untuk memproduksi barang, tetapi biasanya tidak membayar penuh biaya pembuangan limbah dan energi yang digunakan. Pembuangan limbah atau pembakaran energi menggunakan jasa asimilasi limbah pada lingkungan tidak dibayar oleh produsen. Seperti halnya konsumen yang mengendarai mobil pribadinya yang mengeluarkan gas buang atau seseorang yang membeli makanan kemasan palastik dan kemudian menbuang plastiknya di tanah. Kondisi pelaku ekonomi yang tidak mau membayar biaya eksternalitas tersebut karena produsen dan konsumen dapat membuat keputusan tanpa harus membayarnya. Secara teknis, eksternalitas dapat diartikan sebagai efek dari pelaku ekonomi dan lainya yang tidak terkontrol oleh operasi pasar (Suparmoko dan Maria, 2000). Karena pembuangan limbah ke lingkungan gratis, orang akan melakukan lebih dari biasanya jika mereka harus membayar untuk itu. Hal tersebut dikatakan sebagai kegagalan pasar, karena tidakadanya harga, sehingga pasar mengalokasikan jasa yang disediakan lingkungan secara tidak efisien.
Para ekonom merespon masalah tersebut untuk mencari jalan untuk menginternalisasikan eksternalitas yaitu, mendorong para pelaku yang mengunakan sumber daya alam (SDA) untuk membayar harganya dimana mencerminkan biaya untuk masyarakat karena penggunanan tersebut. Pada harga tersebut orang akan memilih untuk menggunakan jasa lingkungan pada tingkat ekonomi yang efisien, pada tingkat dimana harga sanadengan biaya marjinal. Dengan catatan bahwa pelaku ekonomi tidak peduli dengan mengurangi jasa yang digunakan (misalnya mengurangi semua polusi), atau dengan mengurangi semua degradasi lingkungan. Selain itu, tujuan dari para ekonom adalah untuk menentukan harga pada tingkat dimana biaya tersebut sama dengan biaya yang ditimbulkan oleh polusi. Harga hanya tersebut akan memperbolehkan sedikit pembuaangan limbah, dan akan berada dipasar diperuntukkan bagi mereka yang mau membayarnya.
Secara konseptual, internalisasi eksternalitas merupakan cara yang efisien dan sangat bagus untuk mengalokasikan jasa lingkungan. Dalam prakteknya untuk mewujudkan hal tersebut sangatlah sulit. Sangat sulit untuk menentukan biaya yang diakibatkan dari degradasi lingkungan. Secara politis, tidak mungkin untuk memperkenalkan pungutan berdasarkan ukuran yang efektif dalam internalisasi eksternalitas. Para ahli lingkungan memilih untuk tidak menjual “hak untuk membuat polusi” dan memilih untuk melarang penciptaan polusi. Produsen dan konsumenlah yang harus bertanggung jawab terhadap polusi, dan harus menanggung keseluruhan biaya dari perbuatan mereka, dengan argumen bahwa hal tersebut dapat merusak ekonomi dan kenyamanan individu.









Konsep Green GDP adalah Pengelolaan sumber daya alam, termasuk perikanan yang lestari dan bertanggung jawab adalah suatu keharusan sebagaimana diamanatkan oleh Rio Summit mengenai pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Orientasi pembangunan yang selama ini dijalankan baik pada tingkat nasional maupun lokal selain memang telah memberikan kemajuan ekonomi yang pesat juga telah menimbulkan ongkos yang mahal yang harus dibayar yakni berupa degradasi lingkungan, pencemaran, penangkapan yang berlebihan (overfishing) dan perubahan iklim. Oleh karenanya, sebuah perubahan paradigma yang mendasar sudah waktunya diterapkan dalam menjalankan pembangunan sumber daya alam dengan memperhatikan aspek lingkungan.
Sumber daya ikan merupakan aset kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran bangsa. Sumber daya ikan selain sebagai sumber kebutuhan ekonomi domestik dengan memberikan sumber penerimaan rumah tangga dan industri, juga merupakan sumber penerimaan negara melalui nilai tambah yang dihasilkan. Namun demikian, sumber daya ikan meski merupakan sumber daya alam yang dapat pulih (renewable), memiliki keterbatasan yang ditentukan oleh daya dukung lingkungan dan faktor ekologi lainnya. Bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa kemampuan sumber daya ikan untuk menopang kebutuhan manusia sudah semakin menurun dari waktu ke waktu. Bahkan secara global lebih dari 70% sumber daya ikan laut dunia sudah mengalami eksploitasi berlebih (over exploitation). Fenomena overfishing baik secara ekonomis maupun biologi di perikanan pantai (coastal fisheries) merupakan fenomena umum yang kini dialami hampir seluruh Negara berkembang. Situasi ini diperburuk pula oleh pengambilan keputusan yang myopic oleh para pelaku perikanan dimana keinginan untuk memperoleh hasil tangkap yang cepat dan dengan kuantitas yang banyak dilakukan dengan tidak bertanggung jawab melalui penangkapan yang merusak lingkungan (destructive) yaitu menggunakan bom dan racun serta penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Ekstraksi sumber daya ikan melalui perikanan tangkap yang tidak memperhatikan aspek di atas pada akhirnya akan memberikan umpan balik yang negatif pada kegiatan ekonomi baik pada skala rumah tangga, industri, regional maupun nasional. Hal ini dapat diindikasikan dengan menurunnya produktifitas perikanan, menurunnya tingkat pendapatan nelayan dan kerusakan lingkungan yang parah yang menimbulkan kerugian ekonomi dan ekologi yang sangat substansial.
Pesatnya pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi pada akhir dekade ini telah meningkatkan polusi dan penurunan lingkungan sebagai akibat dari depresiasi perekonomian. Peraturan-peraturan mengenai lingkungan sangat diabaikan selama periode ini. Ketika perluasan industri mengakibatkan tumbuhnya ekonomi secara pesat, ketenagakerjaan, menaikkan pendapatan dan meningkatkan ekspor, pemusatan limbah industri di kawasan perkotaan memiliki pengaruh yang serius dan melahirkan bahaya terhadap kesehatan dan kehidupan penduduk perkotaan di Indonesia. Tidak bisa dipungkiri, masyarakat miskin perkotaan merupakan yang paling mudah terkena penyakit sebagai akibat/efek dari lingkungan yang berbahaya. Desakan penduduk perkotaan mengakibatkan berkurangnya lahan pertanian. Lahan terbuka, lahan gambut dan ekologi lainnya serta mengancam kebudayaan dan nilainilai kehidupan masyarakat perkotaan (World Bank, 2003). Oleh karena itu,pembangunan regional, baik perkotaan maupun pedesaan, tidak lagi dapat didasarkan pada pembangunan ekonomi semata, akan tetapi harus didasarkan pada pembangunan yang berkelanjutan (Hall dan Ulrich, 2000)
Apabila dikembangkan dari UU 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, pembangunan regional yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dapat didefinisikan sebagai “upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, kedalam proses pembangunan kawasan untuk memjamin kemampuan, kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan masa datang” (Askary,2003).
Pembangunan dapat disebut berkelanjutan bila memenuhi kriteria ekonomis, bermanfaat secara sosial, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup. Konsep pembangunan berkelanjutan terus mengalami perubahan sejak diperkenalkan pada tahun 1970. Pada tahun tujuh puluhan konsep pembangunan berkelanjutan didominasi oleh dimensi ekonomi yang dipicu adanya krisis minyak bumi pada tahun 1973 dan tahun 1979. Harga minyak dunia melambung yang mengakibatkan resesi di negara-negara maju khususnya di negara pengimpor minyak. Dimensi lingkungan mulai mendapat perhatian pada tahun delapan puluhan. Earth Summit di Rio de Janeiro pada tahun 1992 merupakan titik tolak dipertimbangkannya dimensi social dalam pembangunan berkelanjutan. Salah satu hasil penting dalam konferensi ini adalah pembentukan komisi pembangunan berkelanjutan (CSD – Commission on Sustainable Development). Komisi ini telah menghasilkan kesepakatan untuk mengimplementasikan konsep pembangunan berkelanjutan seperti yang tertuang dalam Agenda 21. Kesetaraan akses akan sumber daya bagi semua lapisan sosial dan memberantas kemiskinan juga menjadi agenda penting dalam konferensi ini( Sugiyono,2004).
Sumber daya milik bersama adalah barang yang bersaing penggunaannya tetapi bukan barang yang eksklusif. Oleh karena itu sulit untuk mencegah siapapun untuk menggunakannya. Contohnya adalah laut tempat perikanan dan lahan untuk tanaman. Pada kasus ini, pada kondisi berkelanjutan dapat diartikan SDA dapat dipanen tanpa harus mengurangi panen dimasa yang akan datang. Jika hanya ada satu pengguna yang memanfaatkan secara terus-menerus sumberdaya tersebut tanpa henti, dia akan mengunakannya pada tingkat penggunaaan yang sama tidak pernah lebih. Tetapi jika ada banyak orang yang menggunakannya, masing-masing menpunyai keinginan untuk mengambil sebanyak mungkin, meskipun secara akumulasi dari orang-orang tersebut melakukan dengan cara yang tidak berkelanjutan (unsustainable) dalam penggunaannnya sehingga menyebabkan deplesi SDA.
 Jenis SDA ini merupakan kasus klasik dari prisoner’s dilemma. Setiap pengguna akan lebih baik juka tidak menggunakaya secara berlebihan. Selain itu, jika mereka tidak mempunyai informasi yang sempurna tentang apa yang dikakukan oleh masing-masing pengguna dan tidak percaya pada sesamanya bahwa tiap orang akan berusaha mengurangi tingkat penggunaanya , maka mereka akan berasumsi bahwa masing-masing pengguna akan menggunakan sebanyak mungkin. Jika masingmasing orang menggunakan sebanyak mungkin, selanjutnya masing-masing individu akan melakukan hal yang sama pula, akibatnya akan terjadi deplesi SDA (Hecht et al, 2002).
Penghitungan GNP sebagai indikator perekonomian mengabaikan kelangkaan dari SDA dimana SDA tersebut merupakan faktor dari pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, disatu sisi degradasi dan pengerusakan lingkungan berhubungan dengan aktifitas ekonomi dan aktivitas lainnya. Berdasarkan hal tersebut PBB dan world bank telah membangun sebuah alternatif indikator secara makro dari perubahan lingkungan dan pendapatan dan output. Sebagai hasil dari usaha tersebut Statistical Division of the United Nations (UNSTAT), mempublikasikan handbook System of national account (SNA) pada tahun 1993 yang menyediakan konsep dasar dalam mengimplementasikan System for Integrated Environmental and Economic Accounting (SEEA) dan perubahan lingkungan pada GDP (Green GDP) yang mengilustrasikan hubungan antara lingkungan alamiah dan perekonomian.
Menanggapi rekomendasi dari PBB, Economic Planning Agency of Japan (EPA) menerbitkan untuk pertama kali pada tahun 1995 estimasi SEEA dan Green GDP untuk tahun 1985 dan tahun 1990.
Implementasi strategi pengembangan program tentang sumber daya alam dan informasi mengenai lingkungan dan meningkatkan akses informasi untuk semua orang di daerah. Hal tersebut bertujuan meperoleh dan mendistribusikan informasi melalui inventarisasi, evaluasi dan penguatan sistem informasi. Pada jangka panjang, akan tersedia informasi dan kemudahan dalam mengakses data secara spasial di perkotaan, nilai dan penghitungan lingkungan dan sumber daya alam. Langkahlangkah dalam sistem adalah menginventarisasi dan mengevaluasi potensi lingkungan dan sumber daya alam untuk menghitung PDB hijau (Green GDP) suatu wilayah.
Berdasarkan Imlementasi dari UU no 23/1997 tentang prinsip-prinsip pengelolaan SDA mendefinisikan 3 konsep utama dalam pembangunan berkelanjutan, yaitu: kondisi SDA, kualitas lingkungan dan faktor demografi. Oleh karena itu perlu adanya optimalisasi usaha untuk menyusun penghitungan kualitas lingkungan. Tujuan dari penghitungan kualitas lingkungan adalah :
a. memberikan dekripsi tujuan dari aktivitas manusia (sosial dan ekonomi ) dan fenomena alami keadaan lingkungan dan demografi.
b. memberikan informasi yang komprehensif untuk masyarakat dan pembuat kebijakan
c. sebagai alat yang sangat membantu dalam mengevaluasi pengelolaan demografi dan lingkungan.
Salah satu bagian terpenting dari penghitungan kualitas lingkungan dalam kaitannya dengan pembangunan dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan adalah penyusunan neraca sumber daya alam dan lingkungan. Dengan diketahuinya neraca sumber daya alam, maka indikator pembangunan yang ditunjukkan produk domestik bruto akan menjadi lebih sempurna, karena akan benar-benar menunjukkan kapasitas potensi pembangunan yang dimiliki oleh suatu daerah ataupun kota. Muncul permasalahan, acuan apakah yang dapat digunakan untuk menyusun neraca sumber daya alam di suatu kawasan? Bagaimana kerangka neraca sumber alam dan lingkungan regional? Bagaimana keterkaitanya dengan produk domestik bruto?
Dalam definisi tersebut dapat difahami bahwa konsep pembangunan berkelamjutan didirikan atau didukung oleh 3 pilar, yaitu ekonomi , sosial, dan lingkungan . ketiga pendekatan tersebut bukanlah pendekatan yang berdiri sendirisendiri, tetapi saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain.  konsep pembangunan yang berkelanjutan, pelaksanaan pembangunan ekonomi harus didasarkan pada daya dukung sumber daya alam, lingkungan hidup, dan karakter sosial. Untuk itu, pengelolaan pelestarian sumber daya alam harus didasarkan pada prinsip-prinsip desentralisasi, pengelolaan secara holistik, keseimbangan, kehati-hatian dini, serta melestarikan kapasitas terbarukan dan keadilan antar-generasi. Untuk melaksanakan strategi kebijakan tersebut, telah dicanangkan program pembangunan pengembangan dan peningkatan akses informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup. Program ini bertujuan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang lengkap mengenai potensi dan produktivitas sumber daya alam dan lingkungan hidup melalui inventarisasi dan evaluasi, serta penguatan sistem informasi. Sasaran yang ingin dicapai adalah tersedia dan teraksesnya informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup baik berupa infrastruktur data spasial, nilai dan neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup oleh masyarakat luas di setiap daerah. Kegiatan yang sesuai dengan sasaran program pembangunan ini antara lain adalah inventarisasi dan evaluasi potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup serta pengkajian neraca sumber daya alam dan penyusunan PDB Hijau (Green GDP) secara bertahap.
2. Kekuatan dan kelemahan Green GDP : bandingkan dengan pendekatan-pendekatan yang ada dalam modul
A. Kekuatan Green GDP
a). Sebagai alat monitor, pengawasan, dan pengendalian terhadap kecenderungan biaya dan manfaat atas penngelolaan SDA yang harus diperhitungkan dalam neraca pendapatan nasional.
b). Sebagai masukan bagi para pengambil kebijakan maupun perencana untuk mengkaji pentingnya fungsi lingkungan hidup dalam pembangunan SDA yang berkelanjutan sesuai arah dan strategi kebijaksanaan pengelolaan SDA.
c). Sebagai alat untuk mengantisipasi permasalahan yang kemungkinan timbul dalam memantapkan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan dimasa mendatang.
d).  Sebagai alat analisis stock dan flow PDB yang terkait dengan kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan SDA. Analisis ini menekankan pada ukuran dan analisis tingkat konservasi dan eksplorasi, serta tingkat biaya penyusutan yang harus dicantumkan dalam perhitungan PDB. Data dan informasi yang dimaksudkan mencakup data SDA, seperti kehutanan, perikanan, ketersediaan lahan pertanian, pertambangan, dan sumber daya air.

B. Kelemahan Green GDP :
a). Kendala utama terjadi karena adanya perbedaan konseptual, pendekatan dan metode perhitungan (valuasi) antara PDB Konvensional dan Neraca Sumber Daya Alam (NSDA) yang menyebabkan terjadi kerancuan dalam penggabungannya menjadi PDB Hijau. PDB Konvensional disusun berdasarkan nilai tambah sektor produksi yang benar-benar dikonsumsi oleh masyarakat, sedangkan NSDA disusun berdasarkan perubahan kandungan dan kekayaan SDA yang belum tentu SDA tersebut benar-benar dapat dimanfaatkan atau diambil gunanya sehingga perhitungannya menjadi overvalue.
b). Sistem perhitungan NSDA sendiri masih mengalami kerancuan dan memberikan hasil yang kurang valid dan akurat. Hal tersebut dikarenakan ada masalah dalam kesinergian antara data neraca fisik dan moneter-nya, di mana data neraca fisik ternyata tidak dapat secara langsung menunjukkan ciri data neraca moneternya, misal: data neraca fisiknya turun (perubahan neto-nya negatif) tetapi data neraca moneternya naik (perubahan neto-nya positif) dan begitu juga sebaliknya. Ketidaksinergian tersebut disebabkan oleh adanya asumsi homogenity (semua dianggap sama) dalam neraca fisiknya dan penerapan nilai unit rent yang berbeda-beda dalam neraca moneternya. Masalah tersebut menyebabkan perhitungan kerusakan SDA dan lingkungan yang nilai sebenarnya cukup besar dan harus mendapatkan perhatian yang serius menjadi kelihatan kecil proporsinya terhadap total SDA yang ada dan hasilnya cenderung diacuhkan karena masih tidak terlalu besar nilainya.
c). Metode valuasi dalam NSDA, baik dalam neraca fisik maupun neraca moneter, masih menggunakan berbagai proxi dan belum ada keseragaman antar berbagai unsur SDA. Hal tersebut dapat menyebabkan hasil valuasi menjadi under dan overvalue. Valuasi NSDA suatu wilayah yang ketersedian akan SDA dan lingkungan-nya terbatas menyebabkan untuk perhiyungan NSDA Wilayah tersebut mengunakan metode benefit transfer ( mengunakan data dan karakteristik wilayah lain yang cukup datanya untuk wilayah sendiri) juga mengakibatkan hasil yang kurang valid dan akurat. Perhitungan NSDA juga baru sebatas perhitungan nilai perubahan neto (deplesi) SDA dan belum sampai pada perhitungan nilai degradasi SDA dan lingkungan sehingga baru menghasilkan nilai PDB yang semi Hijau.
2.    Analisis kemungkinan penerapan Green GDP di Indonesia: kaitkan dengan pembangunan di bidang perikanan.
Sumber daya milik bersama adalah barang yang bersaing penggunaannya tetapi bukan barang yang eksklusif. Oleh karena itu sulit untuk mencegah siapapun untuk menggunakannya. Contohnya adalah laut tempat perikanan dan lahan untuk tanaman. Pada kasus ini, pada kondisi berkelanjutan dapat diartikan SDA dapat dipanen tanpa harus mengurangi panen dimasa yang akan datang. Jika hanya ada satu pengguna yang memanfaatkan secara terus-menerus sumberdaya tersebut tanpa henti, dia akan mengunakannya pada tingkat penggunaaan yang sama tidak pernah lebih. Tetapi jika ada banyak orang yang menggunakannya, masing-masing menpunyai keinginan untuk mengambil sebanyak mungkin, meskipun secara akumulasi dari orang-orang tersebut melakukan dengan cara yang tidak berkelanjutan (unsustainable) dalam penggunaannnya sehingga menyebabkan deplesi SDA.
Jenis SDA ini merupakan kasus klasik dari prisoner’s dilemma. Setiap pengguna akan lebih baik juka tidak menggunakaya secara berlebihan. Selain itu, jika mereka tidak mempunyai informasi yang sempurna tentang apa yang dikakukan oleh masing-masing pengguna dan tidak percaya pada sesamanya bahwa tiap orang akan berusaha mengurangi tingkat penggunaanya , maka mereka akan berasumsi bahwa masing-masing pengguna akan menggunakan sebanyak mungkin. Jika masingmasing orang menggunakan sebanyak mungkin, selanjutnya masing-masing individu akan melakukan hal yang sama pula, akibatnya akan terjadi deplesi SDA.
Pengunaan sunber daya milik bersama juga bisa menyabebkan terjadinya eksternalitas pada orang lain yang tidak terlibat pada kegiatan tersebut. Sebagai contoh, pemanenan yang berlebihan menyebabkan meningkatnya erosi tanah, yang selanjutnya menyebabkan kerusakan di sekitar sungai dan merusak kesegaran air untuk perikanan. Sebenarnya karakteristik utam dari sumberdaya miki bersama bukan eksternalitas yang akan mengenai yang bukan pengguna, tetapi merupakan biaya jangka panjang bagi semua pengguna SDA jika tidak bisa mendisain stategi menejemen berkelanjutan. Dalam jangka panjang penggunaan SDA yang bersaing akan menyebabkan deplesi dan degradasi
Analisis sunberdaya milik bersama sebagai isu dalam menentukan kebijakan sebagai respon dari deplesi SDA. Merupakan salah satu dari manajemen sektor publik dengan system dimana pemerintah menentukan siapa yang dapat menggunakannya, dalam jumlah berapa , dan memberikan sanksi bagi mereka yang melanggar. Pendekatan ini telah digunankan dibeberapa Negara untuk menontrol SDA seprti hutan. Hal tersebut diasumsikan bahwa pemerintah mempunyai informasi yang lengkap mengenai SDA dan membuat catatan administrasi yang efektif dan efesien, asumsi ini biasanya tidak benar. Olek karena pentingnya hal tersebut sedang diusahakan di Indonesia.
Strategi yang belawanan yaitu dengan memprivatisasi SDA secara penuh, sehingga diatur oleh pasar sebagai murni bukan barang publik. Dengan memikirkan suatu areal utnuk ditanami bahwa hujan akan turun ditempat yang berbeda setiap tahun. Membagi areal tersebut pada pihak-pihak swasta akan mengurangi resiko kepunahan. Pendekatan ketiga adalah setiap pengguna membuat suatu perkumpulan untuk membahas menejerial dari pemakaian SDA dan memberikan otoritas untuk memberikan sanksi bagi mereka yang melanggar. Sebagai tambahan pada kegagalan pasar, kebijakan pemerintah juga bisa menjadi penyebab kerusakan lingkungan. Pada pasar tertentu, harga dari barang dan jasa dari lingkungan lebih rendah dari biaya mrjinalnya karena pemerintah memberikan sunsidi dari penggunaannya tersebut. Hal tersebut menyebabkan penggunanan SDA yang berlebihan, dan merusak lingkungan.
Berbagai permasalahan di atas menyebabkan terjadinya stigma buruk bagi perhitungan PDB Hijau sendiri, yaitu keraguan akan menghasilkan PDB Hijau yang efektif dan dapat memberikan gambaran yang cukup akurat akan realita sesungguhnya (ketidakpastian kemampuan NSDA). Dalam kenyataan PDB Hijau juga tidak mengikutkan efek general equilibrium, artinya tidak diikuti dengan kebijakan dan usaha dalam menginternalisasikan lingkungan ke ekonomi oleh sektor produksi. Oleh karena itu, PDB Hijau masih belum bisa dimanfaatkan sebagai pengganti dari penggunaan PDB Konvensional yang digunakan sebagai salah satu indikator utama dalam kinerja pembangunan dan perekonomian nasional.  Dengan berbagai keterbatasan yang ada, PDB Hijau minimal dapat digunakan sebagai satelit (alat pembanding, pengawas dan pengontrol) bagi PDB Konvensional, dimana besarnya nilai yang ditunjukkan oleh PDB Konvensional merupakan bukan nilai yang sebenarnya apabila memasukkan unsur SDA dan lingkungan dalam perhitungannya. Manfaat yang tak kalah pentingnya –sebagai salah satu manfaat tersirat dalam PDB Hijau- adalah memberi kesadaran pada semua pihak akan pentingnya internalisasi lingkungan ke dalam ekonomi, terutama pemerintah -sebagai pemegang otoritas political will- dituntut untuk sungguh-sungguh berkomitmen dalam pembangunan SDA dan lingkungan yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Dalam konteks pembangunan berkelanjutan terutama dalam demensi spasial hanya mendapat sedikit perhatian. Pentingnya elemen spasial didapat dari hubungan timbal-balik yaitu (1) proses lokal mempengaruhi global dan (2) trend global akan mempengaruhi lokal. Contohnya kerusakan ekosistem pada satu wilayah mempunyai efek yang besar dalam mempengaruhi kondisi klimatologi secara global dan siklus geokemikal. Struktur ekonomi dan lingkungan yang spesifik dalam suatu wilayah menentukan sensitifitas dari suatu daerah terhadap kekuatan ekonomi dan lingkungan eksternal (Bergh and Nijkamp, 1999). Oleh karena itu, mempelajari keberlanjutan dalam sietem multi regional dapat bermanfaat dalam implikasi secara spasial dari keberlanjutan secara global, baik dalam aktifitas regional dan internasional.
Pada saat ini sudah banyak negara yang melaksanakan penyusunan naraca sumber daya alam dan lingkungan, bahkan kantor statisitik PBB (United Nations Statistical Office). Sistem neraca nasional yang terintegrasi (integrated system of economic and environmental account) yang semula hanya menunjukkan aspek produksi yang dihasilkan oleh suatu negara yang disebut dengan nilai tambah, sekarang harus disesuaikan dengan melihat berapa banyak sumber daya alam yang hilang dan biaya yang dikeluarkan untuk mempertahankan fungsi lingkungan sebagai bagian penyusutan kekayaan suatu negara, sehingga harus dikurangkan dari nilai tambah yang sudah ada. Namun memasukkan penyusutan nilai sumber daya alam dan lingkungan itu kedalam sistem neraca nasional bukanlah satu-satunya tujuan yang ingin dicapai, tetapi dengan adanya neraca sumber daya alam dan lingkungan itu, pemerintah akan memiliki informasi yang lebih baik mengenai keadaan sumber daya dan lingkungan , sehingga secara politis maupun ekonomis akan mampu membuat rencana pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan serta rencana pembangunan dengan lebih baik pula.
Ide dasar dalam menghitung green GDP adalah adanya hubungan tertutup dan interaksi antara ilmu ekonomi secara konvensional dengan sistem lingkungan sebagia pendukungknya. Interaksi secara sederhana  menunjukan 2 buah matrik yang menjelaskan ekonomi konvensional ilmu ekonomi Konvensional (tradisional) menjelaskan proses aktifitas dari matrik. Contoh, bagaimana permintaan konsumen mempengaruhi output perusahaan dan bagaimana output perusahaan dapat merubah keputusan seseorang. Matrik yang lain menjelaskan tentang lingkungan. Matrik tersebut menjelaskan semua sumber daya yang ada di bumi seperti energi, perikanan, tanah hutan maupun kapasitas lingkungan dalam mengasililasi limbah. Interaksi antara kedua matrik tersebut tercakup dalam ilmu ekonomi lingkungan yang tunjukkan melalui sirkulasi perekonomian di suatu wilayah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar