Selasa, 22 November 2011

Peluang Ekonomi Tinggi dari Otonomi Pengelolaan Sumberdaya Laut


PENGALAMAN pembangunan bangsa-bangsa di dunia dan bangsa kita sendiri selama kurun waktu PJP I menunjukkan, bahwa paradigma (pola) pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan aspek pemerataan dan kesesuaian sosial-budaya serta kelestarian daya dukung ligkungan secara proporsional, pada akhirnya akan bermuara pada kegagalan.

Wujud dari kegagalan tersebut dapat berupa penurunan atau terhentinya pertumbuhan ekonomi (seperti yang terjadi di negara bekas Uni Soviet), disintegrasi dan keresahan sosial (seperti Indonesia dan Yugoslavia), atau kerusakan lingkungan yang melampaui daya dukung lingkungan kawasan (negara) sehingga sistem lingkungan beserta sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya tidak mampu lagi mendukung kiprah pembangunan dan kehidupan manusia seperti yang dialami oleh bangsa Maya di Amerika Latin dan Irak di masa lalu.

Oleh karena itu, pada bulan Juni 1992 hampir seluruh bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia, membuat kesepakatan bersama di KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brazil, bahwa paradigma pembangunan yang harus diimplementasikan sekarang dan untuk masa-masa mendatang adalah paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan berkelanjutan adalah suatu sistem pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tanpa menurunkan atau merusak kemampuan generasi-generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi hidupnya (WCED, 1987).

Sebagai salah satu penandatangan Agenda-21, yang merupakan produk utama dari KTT Bumi tersebut, Indonesia telah membuat komitmen politik dalam GBHN 1993 bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan paradigma pembangunan yang dianut oleh bangsa Indonesia sejak saat itu. Pada tataran kebijakan, paradigma pembangunan berkelanjutan dijadikan dasar dalam penyusunan Repelita VI tentang kelautan.

Sementara itu, implementasi pembangunan berkelanjutan dalam bidang kelautan dilakukan melalui kegiatan berbagai proyek pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Di antaranya Proyek MREP (Marine Resources Evaluation and Planning Project) yang dilaksanakan di sepuluh propinsi, Proyek Pesisir (CRMP) yang dilaksanakan di tiga propinsi, Proyek Konservasi dan Pembangunan Segara Anakan (SACDP = Segara Anakan Conservation and Development Project) di dua propinsi, Proyek Coastal Zone Land Use and Management di Riau dan Proyek COREMAP (Coral Rehabilitation and Management Project) yang dilaksanakan di sepuluh propinsi, dan berbagai proyek kelautan yang dilakukan oleh sektor-sektor terkait.

http://www.pantai.netfirms.com/fishlonpat.gif


Dibalik berbagai upaya tersebut, kinerja (performance) pembangunan bidang kelautan ditinjau dari perspektif pembangunan berkelanjutan belum optimal. Ekosistem pesisir dan lautan yang meliputi sekitar 2/3 dari total wilayah teritorial Indonesia dengan kekayaan alam yang sangat besar, kegiatan ekonominya hanya menyumbangkan sekitar 12% dari total GDP nasional (PKSPL-IPB, 1998). Padahal negara-negara yang memiliki wilayah dan potensi pembangunan kelautan yang jauh lebih kecil dari Indonesia, seperti Norwegia, Thailand, Philipina, dan Jepang, kegiatan ekonomi kelautannya (perikanan, pertambangan dan energi, pariwisata, perhubungan dan komunikasi, dan industri) telah memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap GDP nasional mereka, yaitu berkisar antara 25-60%. Lebih dari itu, sumberdaya perikanan kita (terutama tuna, cakalang, dan kakap laut dalam) banyak dipanen secara tidak syah (ilegal) oleh nelayan asing.

Dalam pada itu, wilayah pesisir dan laut yang padat penduduk atau tinggi intensitas pembangunannya, seperti sebagian kawasan Selat Malaka, Pantai Utara Jawa, Ujung Pandang, dan pesisir Timika, telah mengalami degradasi/tekanan lingkungan berupa pencemaran; overfishing; degradasi fisik habitat terumbu karang, mangrove, dan lainnya pada tingkat yang telah mengancam daya dukung kawasan tersebut untuk mendukung pembangunan ekonomi selanjutnya. Lebih ironis lagi, penduduk pesisir sebagian besar masih merupakan kelompok masyarakat termiskin di tanah air. Apabila kondisi semacam ini tidak segera diperbaiki, maka dikhawatirkan kita tidak dapat memanfaatkan sumberdaya kelautan bagi kepentingan pembangunan nasional secara optimal dan berkesinambungan.

Banyak faktor yang telah menyebabkan kinerja pembangunan kelautan nasional pada masa lalu belum seperti yang kita harapkan, salah satu faktor yang terpenting adalah bahwa proses perencanaan dan pengambilan keputusan tentang pembangunan kelautan sangat sentralistik dan ?op-down? Oleh karena itu, lahirnya UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah yang juga mencakup kewenangan daerah dalam mengelola sumberdaya kelautan merupakan angin segar bagi pembangunan kelautan yang lebih baik.


A. SUMBERDAYA KELAUTAN

Secara umum, sumberdaya kelautan terdiri atas sumberdaya dapat pulih (renewable resources), sumberdaya tidak dapat pulih (non-renewable resources), dan jasa-jasa lingkungan kelautan (environmental services). Sumberdaya dapat pulih terdiri dari berbagai jenis ikan, udang, rumput laut, termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut (mariculture). Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi mineral, bahan tambang/galian, minyak bumi dan gas. Sedangkan yang termasuk jasa-jasa lingkungan kelautan adalah pariwisata dan perhubungan laut. Potensi sumberdaya kelautan ini belum banyak digarap secara optimal, karena selama ini upaya kita lebih banyak terkuras untuk mengelola sumberdaya yang ada di daratan yang hanya sepertiga dari luas negeri ini.


A.1. Sumberdaya Dapat Pulih

Kita bersyukur karena selain dianugerahi dengan laut yang begitu luas, juga dianugerahi beraneka ragam sumberdaya ikan di dalamnya. Potensi lestari ikan laut sebesar 6,2 juta ton, terdiri ikan pelagis besar (975,05 ribu ton), ikan pelagis kegil (3.235,50 ribu ton), ikan demersal (1.786,35 ribu ton), ikan karang konsumsi (63,99 ribu ton), udang peneid (74,00 ribu ton), lobster (4,80 ribu ton), dan cumi-cumi (28,25 ribu ton). Potensi sumberdaya perikanan ini tersebar dalam sembilan wilayah pengelolaan (lihat gambar 1). Masing-masing (1) Selat Malaka, (2) Laut Cina Selatan, (3) Laut Jawa, (4) Selat Makasar dan Laut Flores, (5) Laut Banda, (6) Laut Seram sampai Teluk Tomini, (7) Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik, (8) Laut Arafura dan (9) Samudera Hindia (Aziz, dkk, 1998). Apabila potensi perikanan laut ini dikelola secara serius diperkirakan akan memberikan sumbangan devisa sebesar US$ 10 milyar per tahun mulai tahun 2003


Sampai pada tahun 1998, produksi perikanan laut Indonesia baru mencapai 3.616.140 ton, atau sekitar 58,5 persen dari total potensi lestari sumberdaya perikanan laut yang kita miliki. Dengan demikian masih terdapat 41 persen potensi yang tidak termanfaatkan atau sekitar 2,6 juta ton per tahun. Peluang pengembangan industri perikanan baik dalam skala kecil (perairan nusantara) maupun skala besar (ZEEI dan samudera) dapat dikelompokkan sebagai berikut:
  1. Ikan pelagis besar seperti tuna, cakalang, marlin, tongkol, tenggiri dan cucut dapat ditangkap di perairan nusantara dan samudera terutama di perairan Laut Banda, Laut Seram sampai Teluk Tomini, Laut Arafura dan Samudera Hindia yang memiliki peluang pengembangan secara lestari sekitar 321.766 ton per tahun.

  1. Ikan pelagis kecil seperti ikan layang, selar, tembang, lemuru, dan kembung dapat ditangkap di perairan nusantara antara lain di perairan Laut Cina Selatan, Selat Makasar dan Laut Flores, Laut Banda, Laut Seram sampai Teluk Tomini, Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik, Laut Arafura dan Samudera Hindia. Peluang pengembangan perikanan ikan pelagis kecil secara lestari masih sekitar 1.715 ribu ton per tahun.

  1. Ikan karang konsumsi seperti kerapu, kakap, lancam, beronang dan ekor kuning berpeluang dikembangkan di sekitar perairan Selat Makasar dan Laut Flores, Laut Banda, dan Laut Seram sampai Teluk Tomini dengan potensi lestari sekitar 31.355 ton per tahun.

  1. Kelompok lobster seperti udang karang dan barong berpeluang dikembangkan di perairan Laut Cina Selatan, Laut Banda, dan Laut Seram sampai Teluk Tomini, dengan potensi sekitar 2.400 ton per tahun.


Kawasan pesisir dan laut Indonesia yang beriklim tropis, banyak ditumbuhi hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun (seagrass), dan rumput laut (seaweed). Dengan kondisi pantai yang landai, kawasan pesisir Indonesia memiliki potensi budidaya pantai (tambak) sekitar 830.200 ha yang tersebar di seluruh wilayah tanah air dan baru dimanfaatkan untuk budidaya (ikan bandeng dan udang windu) sekitar 356.308 ha (Ditjen Perikanan 1998). Jika kita dapat mengusahakan tambak seluas 500.000 ha dengan target produksi 4 ton per ha per tahun, maka dapat diproduksi udang sebesar 2 juta ton per tahun. Dengan harga ekspor yang berlaku saat ini (US$ 10 per kilogram) maka didapatkan devisa sebesar 20 milyar dolar per tahun.

Kondisi perairan yang teduh dan jernih karena terlindung dari pulau-pulau dan teluk juga memiliki potensi pengembangan budidaya laut untuk berbagai jenis ikan (kerapu, kakap, beronang, dan lain-lain), kerang-kerang dan rumput laut, yaitu masing-masing 3,1 juta ha, 971.000 ha, dan 26.700 ha. Sementara itu, potensi produksi budidaya ikan dan kerang serta rumput laut adalah 46.000 ton per tahun dan 482.400 ton per tahun. Dari keseluruhan potensi produk budidaya laut tersebut, sampai saat ini hanya sekitar 35 persen yang sudah direalisasikan. Potensi sumberdaya hayati (perikanan) laut lainnya yang dapat dikembangkan adalah ekstrasi senyawa-senyawa bioaktif (natural products), seperti squalence, omega-3, phycocolloids, biopolymers, dan sebagainya dari microalgae (fitoplankton), macroalgae (rumput laut), mikroorganisme, dan invertebrata untuk keperluan industri makanan sehat (healthy food), farmasi, kosmetik, dan industri berbasis bioteknologi lainnya. Padahal bila dibandingkan dengan Amerika Serikat yang memiliki potensi keanekaragaman hayati laut yang jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia, pada tahun 1994 sudah meraup devisa dari industri bioteknologi kelautan sebesar 40 milyar dolar (Bank Dunia dan Cida,1995).


A.2. Sumberdaya Tidak Dapat Pulih

Sumberdaya alam lainnya yang terkadung dalam laut kita adalah terdapatnya berbagai jenis bahan mineral, minyak bumi dan gas. Menurut Deputi Bidang Pengembangan Kekayaan Alam, BPPT dari 60 cekungan minyak yang terkandung dalam alam Indonesia, sekitar 70 persen atau sekitar 40 cekungan terdapat di laut. Dari 40 cekungan itu 10 cekungan telah diteliti secara intensif, 11 baru diteliti sebagian, sedangkan 29 belum terjamah. Diperkirakan ke-40 cekungan itu berpotensi menghasilkan 106,2 milyar barel setara minyak, namun baru 16,7 milyar barel yang diketahui dengan pasti, 7,5 milyar barel di antaranya sudah dieksploitasi. Sedangkan sisanya sebesar 89,5 milyar barel berupa kekayaan yang belum terjamah. Cadangan minyak yang belum terjamah itu diperkirakan 57,3 milyar barel terkandung di lepas pantai, yang lebih dari separuhnya atau sekitar 32,8 milyar barel terdapat di laut dalam. Energi non konvensional adalah sumberdaya kelautan non hayati tetapi dapat diperbaharui juga memiliki potensi untuk dikembangkan di kawasan pesisir dan lautan Indonesia. Keberadaan potensi ini di masa yang akan datang semakin signifikan manakala energi yang bersumber dari BBM (bahan bakar minyak) semakin menepis. Jenis energi ini yang berpeluang dikembangkan adalah ocean thermal energy conversion (OTEC), energi kinetik dari gelombang, pasang surut dan arus, konversi energi dari perbedaan salinitas.

Perairan Indonesia merupakan suatu wilayah perairan yang sangat ideal untuk mengembangkan sumber energi OTEC. Hal ini dimungkinkan karena salah satu syarat OTEC adalah adanya perbedaan suhu air (permukaan dengan lapisan dalam) minimal 20?C dan intensitas gelombang laut sangat kecil dibanding dengan wilayah perairan tropika lainnya. Dari berbagai sumber pengamatan oseanografis, telah berhasil dipetakan bagian perairan Indonesia yang potensial sebagai tempat pengembangan OTEC. Hal ini terlihat dari banyak laut, teluk serta selat yang cukup dalam di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar bagi pengembangan OTEC. Salah satu pilot plant OTEC akan dikembangkan di pantai utara Pulau Bali. Sumber energi non konvensional dari laut lainnya, antara lain energi yang berasal dari perbedaan pasang surut, dan energi yang berasal dari gelombang. Kedua macam energi tersebut juga memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan di Indonesia. Kajian terhadap sumber energi ini seperti yang dilakukan oleh BPPT bekerjasama dengan Norwegia di Pantai Baron, Yogyakarta. Hasil dari kegiatan ini merupakan masukan yang penting dan pengalaman yang berguna dalam upaya Indonesia mempersiapkan sumberdaya manusia dalam memanfaatkan energi non konvensional. Sementara itu, potensi pengembangan sumber energi pasang surut di Indonesia paling tidak terdapat di dua lokasi, yaitu Bagan Siapi-Api dan Merauke, karena di kedua lokasi ini kisaran pasang surutnya mencapai 6 meter.


A.3. Jasa-jasa Lingkungan Kelautan

Dewasa ini pariwisata berbasis kelautan (wisata bahari) telah menjadi salah satu produk pariwisata yang menarik dunia internasional. Pembangunan kepariwisataan bahari pada hakekatnya adalah upaya untuk mengembangkan dan memanfaatkan objek dan daya tarik wisata bahari yang terdapat di seluruh pesisir dan lautan Indonesia, yang terwujud dalam bentuk kekayaan alam yang indah (pantai), keragaman flora dan fauna seperti terumbu karang dan berbagai jenis ikan hias yang diperkirakan sekitar 263 jenis.

Kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia pada tahun 1997 mencapai 5.185.243., meningkat sebanyak 150.771 (2,99%) terhadap tahun 1996 yaitu sebanyak 5.034.472 wisman. Pada tahun 1998 sebanyak 4.606.416 atau mengalami penurunan sebesar 11,16% terhadap tahun 1997. Sedangkan perolehan devisa dari wisman yang berkunjung ke Indonesia pada tahun 1998 diperkirakan mencapai US$4.332,09 juta atau turun 18,6% dibanding tahun 1997 yang mencapai US$5.321,46 juta (Kamaluddin, 1999).

Untuk mewujudkan pemasukan devisa dari sektor pariwisata ini diperlukan strategi tepat dan langkah-langkah yang kreatif. Hal ini dilakukan melalui penganekaragaman produk wisata seperti ekowisata bahari dan sarana pariwisata. Produk wisata antara lain dimaksudkan menjadikan Indonesia sebagai daerah wisata bahari dunia, khususnya sebagai base/detinasi kapal pesiar (cruise ship) dan sea plane. Daya tarik wisata ini perlu dukungan sarana pariwisata seperti penginapan, sarana makan minum, dan tempat belanja.

Pengembangan ekowisata bahari dengan melibatkan masyarakat di sekitar lokasi wisata telah mulai dikembangkan di bidang akomodasi yaitu pondok-pondok wisata beserta kelompok masyarakat yang berada di sekitar hotel besar yang akan menyediakan berbagai produk untuk dimanfaatkan. Keterlibatan masyarakat juga perlu dikembangkan dalam bidang sarana transportsi rakyat terutama perahu-perahu tradiosinal. Agar keterlibatan masyarakat ini optimal, maka seyogyanya dilakukan pembinaan dan peningkatan kualitasnya, baik melalui penyuluhan maupun pelatihan.

Potensi jasa lingkungan kelautan lainnya yang masih memerlukan sentuhan pendayagunaan secara profesional agar potensi ini dapat dimanfaatkan secara optimal adalah jasa transportasi laut (perhubungan laut). Betapa tidak, sebagai negara bahari ternyata pangsa pasar angkutan laut baik antar pulau maupun antar negara masih dikuasai oleh armada niaga berbendera asing. Menurut catatan Dewan Kelautan Nasional, kemampuan daya angkut armada niaga nasional untuk muatan dalam negeri baru mencapai 54,5 persen, sedangkan untuk ekspor baru mencapai 4 persen, sisanya dikuasai oleh armada niaga asing.


B. IMPLIKASI OTONOMI PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT

Pada masa pemerintahan orde baru, eksploitasi sumberdaya alam (termasuk sumberdaya laut) lebih banyak memberikan manfaat terhadap Pemerintah Pusat dibandingkan Pemerintah Daerah dan masyarakat setempat yang merupakan pemilik sumberdaya. Dengan dalih kepentingan nasional, sumberdaya alam yang ada di daerah dieksploitasi tanpa mengindahkan kelestarian lingkungan, dan bahkan menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan masyarakat yang ada di daerah bersangkutan. Oleh karena itu, wajar apabila muncul tuntutan dari berbagai daerah untuk memperoleh kewenangan yang lebih luas dalam mengelola sumberdaya mereka termasuk sumberdaya kelautan.

Seiring dengan napas reformasi, pemerintah membuat undang-undang pemerintahan daerah (UUPD) No. 22 tahun 1999 yang memberikan otonomi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab, yang diwujudkan dengan pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional serta adanya perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah secara proporsional sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan pemerataan. Pengaturan mendasar yang dibuat dan untuk pertama kalinya dimuat dalam peraturan perudang-undangan di Indonesia yang termuat dalam UUPD ini adalah mengenai otonomi daerah dalam pengelolaan sumberdaya kelautan, yang mencakup kewenangan sampai dengan 12 mil laut dari garis pantai pasang surut terendah untuk perairan dangkal, dan 12 mil laut dari garis pangkal ke laut lepas untuk Daerah Propinsi dan sepertiga dari batas propinsi untuk Daerah Kabupaten. Kewenangan Daerah terhadap sumberdaya kelautan meliputi kewenangan dalam: (a) eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut; (b) pengaturan kepentingan administratif; (c) pengaturan tata ruang; (d) penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; dan (c) bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara khususnya di laut.


B.1. Implikasi terhadap Pengelolaan Secara Terpadu

Jika selama ini terdapat kesan bahwa Pemerintah Daerah tidak peduli terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan termasuk pesisir secara berkelanjutan sangatlah wajar mengingat manfaat terbesar dari sumberdaya tersebut tidak mereka nikmati, melainkan dinikmati oleh Pemerintah Pusat. Namun dengan adanya pemberian wewenang kepada daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya kelautan yang berada dalam batas-batas yang telah ditetapkan, maka manfaat terbesar dari sumberdaya kelautan akan diperoleh Pemerintah Daerah dan masyarakat.

Berdasarkan otonomi daerah ini, Pemerintah Daerah sudah memiliki landasan yang kuat untuk mengimplementasikan pembangunan kelautan secara terpadu mulai dari aspek perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan dalam upaya menerapkan pembangunan kelautan secara berkelanjutan. Permasalahan yang dihadapi sekarang adalah seberapa besar keinginan dan komitmen Pemerintah Daerah untuk mengelola sumberdaya kelautan secara berkelanjutan yang berada dalam wewenang/ kekuasaannya?

Pertanyaan di atas penting mengingat tidak seluruh daerah memiliki pemahaman yang sama akan arti pentingnya pengelolaan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan. Pembangunan kelautan berkelanjutan pada dasarnya adalah pembangunan untuk mencapai keseimbangan antara manfaat dan kelestariannya sumberdaya kelautan. Artinya, bahwa sumberdaya kelautan dapat dieksploitasi untuk kemaslahatan manusia namun tidak menjadikan lingkungan termasuk sumberdaya itu sendiri menjadi rusak.

Isyarat pembangunan berkelanjutan dalam undang-undang ini seperti tersirat dalam pasal 10 ayat [1], bahwa daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai peraturan perundangan. Oleh karena itu, dalam pendayagunaan sumberdaya alam tersebut haruslah dilakukan secara terencana, rasional, optimal dan bertanggung-jawab disesuaikan dengan kemampuan daya dukungnya dan digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat serta harus memperhatikan kelestarian dan keseimbangan lingkungan hidup untuk terciptanya pembangunan yang berkelanjutan.

Salah satu permasalahan yang muncul dalam pengelolaan sumberdaya kelautan di daerah selama ini adalah adanya konflik-konflik pemanfaatan dan kekuasaan. Upaya penanganan masalah tersebut diharapkan dapat dilakukan secara reaktif dan pro-aktif. Secara reaktif, artinya Pemerintah Daerah dapat melakukan resolusi konflik, mediasi atau musyawarah dalam menangani masalah tersebut. Upaya proaktif adalah upaya penanganan konflik pengelolaan sumberdaya kelautan secara aktif dan dilakukan untuk mengantisipasi atau mengurangi potensi-potensi konflik pada masa yang akan datang. Penanganan seperti ini dilakukan melalui penataan kembali kelembagaan Pemerintah Daerah, baik dalam bentuk konsep perencanaan, peraturan perundang-undangan, sumberdaya manusia, sistem administrasi pembangunan yang mengacu pada rencana pengelolaan sumberdaya kelautan secara terpadu. Upaya ini dilakukan dengan menyusun rencana strategis (RENSTRA) pengelolaan sumberdaya kelautan terpadu dari setiap daerah propinsi, kabupaten/kota, dengan cara menyusun zonasi kawasan pesisir dan laut untuk memfokuskan sektor-sektor tertentu dalam suatu zona, menyusun rencana pengelolaan (management plan) untuk suatu kawasan tertentu atau sumberdaya tertentu. Selanjutnya membuat rencana aksi (action plan) yang memuat rencana investasi pada berbagai sektor, baik untuk kepentingan Pemerintah Daerah, swasta maupun masyarakat. Keseluruhan tahapan ini merupakan rencana strategis yang penting untuk dilakukan oleh pemerintah propinsi, kabupaten/kota dalam rangka mengelola sumberdaya kelautan secara terpadu. Namun hendaknya proses perencanaan yang dilakukan adalah perencanaan partisipatif, artinya segenap komponen daerah hendaknya dilibatkan dalam setiap proses dan tahapan perencanaan dan pengelolaan sumberdaya kelautan.


B.2. Implikasi terhadap Sumber Pembiayaan Pembangunan Sumberdaya Laut

Implikasi langsung dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 adalah beralihnya kewenangan (semula wilayah laut menjadi kewenangan pusat) dalam penentuan kebijakan pengelolaan dan pengembangannya di daerah agar menjadi keuntungan daerah berupa adanya peluang yang prospektif dalam mengelola sumberdaya (pesisir dan laut) dalam batas-batas yang telah ditetapkan. Dengan demikian, luas wilayah kewenangan Pemerintah Daerah menjadi bertambah sehingga memberikan harapan yang prospektif dan merupakan peluang bagi daerah, khususnya dalam hal:
  1. Jurisdiksi dalam memperoleh nilai tambah atas Sumberdaya alam hayati dan non hayati, sumber energi kelautan disamping sumberdaya pesisir yang sangat memungkinkan untuk digali dan dioptimalkan, antara lain sumberdaya ikan, terumbu karang, rumput laut dan biota laut lainnya serta pariwisata.

  1. Keleluasaan dalam pengembangan/peningkatan dan pembangunan sarana dan prasarana di kawasan perbatasan antar propinsi, untuk mendukung perkembangan dan kemajuan daerah baik secara internal maupun eksternal dalam arti lintas wilayah antar Kabupaten/Kota maupun Propinsi sehingga akan lebih memberikan kewenangan dalam pengaturan yang pada gilirannya akan memberikan nilai tambah dan peran strategis Daerah.


Sesuai dengan penjelasan pasal 9 ayat [1] UU No 22 Tahun 1999, salah satu bidang yang bersifat lintas propinsi yaitu bidang perhubungan (disamping bidang pekerjaan umum, kehutanan dan perkebunan), di mana pengelolaan pelabuhan regional untuk peningkatan jasa pelayanan transportasi laut dan pengaturan alur pelayaran (regional dan antar regional) kewenangannya diserahkan kepada propinsi.

Manfaat langsung lainnya dari otonomi daerah adalah Pemerintah Daerah memiliki sumber pendapatan dan pendanaan yang berasal dari (a) sharing Pemerintah Pusat dan Daerah dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan di wilayah pesisir, (b) biaya-biaya dari proses perijinan dan usaha, pajak pendapatan dan pajak lainnya, retribusi daerah, dan (c) pendapatan tidak langsung akibat pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian pembangunan kawasan pantai (desa-desa), pelabuhan, kawasan industri dan lain-lain dapat dibiayai oleh Pemerintah Daerah.

Apabila sumber pendapatan dari pemanfaatan sumberdaya kelautan belum sepenuhnya tergali dengan baik, daerah dapat membiayai pembangunan kelautan melalui dana APBD. Penggunaan dana APBD dapat digunakan untuk membiayai kegiatan pembangunan dan pengembangan masyarakat pantai/nelayan, pemantauan dan pengawasan pemanfaatan sumberdaya kelautan, penelitian kelautan, pengumpulan dan analisis data kelautan, serta perencanaan pembangunan kelautan.

Selain itu, pembiayaan pembangunan kelautan dapat juga diupayakan dari sumber APBN (subsidi pemerintah) maupun bantuan luar negeri yang umumnya dalam bentuk-bentuk proyek kelautan yang dimaksudkan untuk pengembangan sumberdaya kelautan daerah. Dengan Undang-undang otonomi daerah ini diharapkan proyek-proyek kelautan sudah dapat didesentralisasikan ke daerah yang nantinya menjadi sumber pembiayaan pembangunan kelautan di daerah.


B.3. Implikasi terhadap Dampak Negatif Pengelolaan Sumberdaya Laut

Optimisme seperti di atas merupakan dampak positif dari berlakunya otonomi daerah terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan. Namun demikian tidak berarti bahwa otonomi daerah tidak memiliki dampak negatif terhadap sumberdaya kelautan. Dampak negatif akan timbul, apabila Pemerintah Daerah seperti disebutkan di atas tidak memiliki persepsi yang tepat terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan. Artinya sumberdaya kelautan tidak semata-mata untuk dieksploitasi tetapi juga harus diperhatikan kelestariannya. Sebab dengan persepsi demikian, maka sumberdaya kelautan yang ada diupayakan dan dieksploitasi sebesarnya-besarnya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Eksploitasi berlebih dengan tidak mengindahkan kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam pada akhirnya akan menimbulkan masalah lainnya di kemudian hari. Jika hal ini terjadinya, maka pola pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan tidak ada bedanya dengan pola yang selama ini dilakukan. Oleh karena itu, yang perlu segera dibenahi adalah bagaimana agar Pemerintah Daerah memiliki persepsi yang tepat terhadap pemanfaatan sumberdaya kelautan yang berkelanjutan. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya kelautan, di mana beralihnya beberapa wewenang pusat ke daerah khususnya daerah perbatasan propinsi, disamping terdapat keuntungan, juga sekaligus menjadi beban dan tanggung jawab dalam pengendalian dan pengelolaannya di kawasan perbatasan antar propinsi tersebut, seperti: sumberdaya ikan yang beruaya, over-eksploitasi, degradasi lingkungan, pencemaran, dan keamanan maupun keselamatan pelayaran. Hal-hal tersebut hanya merupakan akibat lanjutan dari beberapa masalah berikut ini:
  1. Belum adanya institusi/lembaga pengelola khusus yang menangani masalah pengembangan pesisir dan laut.
    Implikasinya, tidak tersedianya instrumen hukum wilayah perbatasan antar propinsi tersebut (RT/RW, zonasi) untuk dapat diketahui masyarakat luas, khususnya dunia usaha yang diharapkan dapat menanamkan investasinya, serta pedoman bagi instansi di daerah (Tk I dan II) dalam pengelolaan dan pengembangan wilayah laut guna peningkatan kesejahteraan masyarakat.

  1. Keterbatasan sumberdaya manusia (aparat pemerintahan) dalam bidang pesisir dan laut yang terdidik dan terlatih.
    Sehingga kendala yang dihadapi adalah kesulitan dalam pendayagunaan serta peningkatan perangkat instansi daerah yang ada terhadap pengelolaan di wilayah pesisir dan 12 mil laut serta 4 mil laut yang merupakan kewenangan kabupaten/kota.

    Sebagai contoh adalah kesiapan regulasi tentang pemanfaatan lahan pesisir untuk kegiatan pembangunan (pariwisata, permukiman dan lain sebagainya), pengaturan pemanfaatan sumberdaya laut, pengaturan alur pelayaran; dan lain-lainnya.

  1. Ketersediaan data dan informasi pesisir dan laut sangat terbatas (seberapa besar potensi pesisir dan laut yang dapat terdeteksi misalnya bahan tambang, perikanan, dan pariwisata).

  1. Terbatasnya wahana dan sarana dalam penerapan dan pendayagunaan teknologi bidang kelautan. Sehingga bagaimana upaya penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi pengelolaan sumberdaya kelautan/SDL dalam usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat, belum bisa terjawab (keterbatasan kemampuan teknologi untuk dapat menggali potensi SDL).


C. ARAHAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT BAGI DAERAH OTONOM

Otonomi daerah sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 di atas baru merupakan landasan yang kuat untuk mencapai pengelolaan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan. Agar otonomi daerah memberikan dampak positif terhadap pengelolaan sumberdaya laut, maka perlu adanya keinginan dan komitmen Pemerintah Daerah bersama masyarakat untuk mengelola sumberdaya kelautan yang berada dalam wilayah kewenangannya secara berkelanjutan. Berikut ini beberapa arahan pengelolaan sumberdaya kelautan yang dapat diterapkan oleh Pemerintah Daerah dalam membangun sumberdaya kelautan untuk mencapai pembangunan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan.


C.1. Arahan Umum Pengelolaan Pembangunan Sumberdaya Kelautan

Sebagaimana tersirat dalam definisi pembangunan berkelanjutan di atas, bahwa pembangunan suatu kawasan akan bersifat berkesinambungan (sustainable) apabila tingkat (laju) pembangunan beserta segenap dampak yang ditimbulkannya secara agregat (totalitas) tidak melebihi daya dukung lingkungan kawasan tersebut. Sementara itu, daya dukung lingkungan suatu kawasan ditentukan oleh kemampuannya di dalam menyediakan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan bagi kehidupan makhluk hidup serta kegiatan pembangunan manusia, yaitu: (1) ketersediaan ruang (space) yang sesuai (suitable) untuk tempat tinggal/permukiman dan berbagai kegiatan pembangunan; (2) ketersediaan sumberdaya alam untuk keperluan konsumsi dan proses produksi lebih lanjut; (3) kemampuan kawasan untuk menyerap/mengasimilasi limbah sebagai hasil samping dari kegiatan manusia dan kegiatan pembangunannya; dan (4) kemampuan kawasan menyediakan jasa-jasa penunjang kehidupan (life-supporting systems) dan kenyamanan (amneties) seperti udara bersih, air bersih, siklus hidrologi, siklus hara, siklus biogekimia, dan tempat-tempat yang indah serta nyaman untuk rekreasi dan pemulihan kedamaian jiwa (spiritual renewal). Atas dasar pengertian pembangunan berkelanjutan dan daya dukung lingkungan kawasan tersebut di atas, maka secara ekologis terdapat empat persyaratan agar pengelolaan sumberdaya kelautan daerah dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan, yaitu:

Pertama, adalah bahwa di dalam suatu kawasan (jika mungkin) ditetapkan terlebih dahulu tiga mintakat/zona (zone), yaitu: (1) zona preservasi, (2) zona konservasi, dan (3) zona pemanfaatan intensif. Dalam hal ini, yang dimaksud zona preservasi adalah suatu kawasan yang mengandung atribut biologis dan ekologis yang sangat penting (vital) bagi kelangsungan hidup ekosistem beserta biota (organisme) yang hidup di dalamnya termasuk kehidupan manusia, seperti keberadaan spesies langka atau endemik, tempat asuhan dan berpijah (nursery and spawning grounds) berbagai biota laut, alur ruaya (migratory routes) ikan dan biota laut lainnya, dan sumber air tawar. Oleh karena itu, di dalam zona preservasi tidak diperkenankan adanya kegiatan pemanfaatan/pembangunan, kecuali untuk kepentingan penelitian dan pendidikan. Zona konservasi adalah kawasan yang diperbolehkan adanya kegiatan pembangunan, tetapi dengan intensitas (tingkat) yang terbatas dan sangat terkendali, misalnya berupa wisata alam (ecotourism), perikanan tangkap dan budidaya yang ramah lingkungan (responsible fisheries), dan pengusahaan hutan mangrove secara lestari. Sedangkan, zona pemanfaatan intensif adalah kawasan yang karena sifat biologis dan ekologisnya dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan pembangunan yang lebih intensif, seperti industri, pertambangan, dan pemukiman padat penduduk.

Kedua, adalah bahwa jika kita memanfaatkan sumberdaya dapat pulih, seperti sumberdaya ikan atau hutan mangrove, maka laju (tingkat) pemanfaatannya tidak boleh melebihi kemampuan pulih (potensi lestari) sumberdaya tersebut dalam periode waktu tertentu. Dalam bidang perikanan tangkap, misalnya, potensi lestari biasanya didefinisikan sebagai MSY (maximum sustainable yield atau Hasil Tangkap Maksimum yang Lestari), seperti yang tercantum pada Lampiran 1 untuk berbagai kelompok stok ikan di sembilan wilayah perairan laut Indonesia. Sementara ini, sudah ada pedoman dari Direktorat Jenderal Perikanan bahwa tingkat penangkapan/pemanenan suatu stok ikan tidak boleh melebihi 80% dari nilai MSY-nya. Dalam pada itu, untuk sumberdaya tak dapat pulih, seperti minyak dan gas bumi, mineral dan bahan tambang lainnya, pedomannya adalah bahwa kegiatan pemanfaatan (eksploitasi), proses produksi (pengolahan) dan distribusi/transportasinya harus dilakukan secara cermat, sehingga tidak merusak lingkungan sekitarnya. Lebih dari itu, laju pemanfaatannya pun harus diatur sedemikian rupa, sehingga ditemukan alternatif penggantinya sebelum sumberdaya ini habis (exhausted) atau memperhatikan kepentingan generasi mendatang.

Ketiga, jika kita menggunakan kawasan laut sebagai tempat pembuangan limbah, maka syarat pertama adalah bahwa jenis limbah tersebut bukan yang bersifat B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Selain itu, jumlah (beban, load) limbah yang dibuang ke dalam kawasan laut termaksud harus tidak melampaui kapasitas asimilasi (assimilative capacity) dari perairan tersebut. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kapasitas asimilasi adalah kemampuan kawasan perairan laut di dalam menerima jumlah limbah tertentu, tanpa mengakibatkan penurunan fungsi (peruntukan) perairan termaksud atau tanpa menimbulkan kerusakan ekologis atau penurunan kesehatan manusia yang menggunakan perairan.

Keempat, di dalam melakukan kegiatan rancangan (design) dan konstruksi atau modifikasi bentang alam (morfologi) pantai atau laut dalam, seperti pembangunan dermaga laut (jetty), struktur pemecah gelombang (breakwaters), dan marina, harus disesuaikan dengan karakteristik dan dinamika biogeofisik setempat, termasuk pola arus, gelombang, dan struktur geologi.


C.2. Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir Tingkat Propinsi dan Kabupaten/ Kotamadya

Dalam kasus pengelolaan sumberdaya kelautan yang bersifat lintas Propinsi dan atau lintas Kabupaten/Kota secara optimal dan berkelanjutan, maka kegiatan yang terdapat di masing-masing Propinsi atau Kabupaten/Kota hendaknya menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan sebagaimana diuraikan di atas. Pola pengelolaan seperti ini dapat dilakukan antara lain di antara Propinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara yang dipisahkan oleh Teluk Bone, Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Lampung yang dibatasi oleh Selat Sunda, atau pun antara Propinsi Jawa Timur dengan Propinsi Bali, dan sebagainya. Hal ini berdasarkan pada pertimbangan bahwa kawasan pesisir dan laut di kedua propinsi sesungguhnya saling terkait melalui pergerakan massa air laut (arus laut), migrasi biota laut, bahan organik, dan lain-lain. Oleh karena itu, setiap kabupaten dan propinsi yang terdapat di dalam kawasan tersebut hendaknya mempunyai Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir (Coastal Zone Management Plan) masing-masing dengan mengikuti kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan.

RPWP (Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir) tersebut pada prinsipnya harus mencakup dua hal utama, yaitu: (1) kebijakan, strategi dan program untuk mendayagunakan potensi pembangunan yang masih belum dimanfaatkan secara optimal sesuai dengan daya dukung lingkungan dan permintaan pasar; dan (2) kebijakan, strategi dan program untuk mencegah serta menanggulangi permasalahan baik yang bersifat biofisik maupun sosial-ekonomi dan budaya.

Secara lebih spesifik, RPWP tersebut hendaknya juga mencakup hal-hal sebagai berikut:
  1. Penetapan batas wilayah pesisir sebagai suatu satuan pengelolaan (a management unit).
  2. Tata ruang wilayah pesisir sesuai dengan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan di atas.
  3. Penentuan jenis kegiatan pembangunan (seperti perikanan, pariwisata, industri, pertambangan dan energi, perhubungan, dan konservasi) beserta intensitas (laju)-nya untuk lima tahun atau dua puluh lima tahun ke depan.
  4. Pedoman pengelolaan pencemaran dan pemeliharaan kualitas perairan laut.
  5. Pedoman konservasi habitat pesisir yang vital (seperti mangrove, terumbu karang, estuaria, dan padang lamun) dan biota atau satwa langka/dilindungi.
  6. Deskripsi tentang struktur dan mekanisme organisasi untuk melaksanakan RPWP, termasuk tanggung jawab dan hubungan antar stakeholders (pihak terkait) baik kalangan pemerintah (tingkat II, tingkat I, dan pusat), swasta, maupun swadaya masyarakat.


C.3. Pedoman Pengelolaan Sumberdaya Kelautan Lintas Batas Propinsi

Pada dasarnya pengelolaan sumberdaya kelautan yang bersifat tetap (tidak bergerak) seperti mineral dan bahan tambang yang terdapat di dasar laut dan daratan pesisir, hutan mangrove, dan terumbu karang) tidak akan menimbulkan masalah antar daerah asal dilakukan mengikuti kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Akan berbeda halnya dengan sumberdaya kelautan yang bergerak seperti beberapa jenis ikan dan biota laut lainnya (penyu misalnya) yang bermigrasi. Jenis-jenis ikan/biota laut tertentu, seperti tuna, cakalang, udang penaeid, dan penyu, bisa saja bertelur dan memijah di kawasan perairan yang termasuk wilayah Propinsi/Kabupaten/Kota tertentu, tetapi membesarkan dirinya di kawasan perairan daerah lainnya. Demikian pula halnya dengan para nelayan, kadangkala nelayan dari satu daerah tertentu melakukan penangkapan di daerah lainnya misalnya nelayan Bone menangkap ikan di perairan Kolaka, atau nelayan Jawa Barat menangkap ikan di perairan Lampung atau sebaliknya.

Untuk mengelola pemanfaatan sumberdaya perikanan yang bersifat lintas batas (shared stock) antar kedua daerah atau lebih secara berkesinambungan, perlu dibuat tim kerjasama kedua propinsi. Tim ini bertugas:
  1. menentukan kuota penangkapan untuk nelayan masing-masing propinsi;
  2. merumuskan pedoman pengelolaan kegiatan penangkapan ikan sesuai dengan kaidah responsible fisheries yang telah ditetapkan oleh FAO (1995);
  3. melakukan kegiatan MCS (Monitoring, Controlling, and Surveilance); dan bersama instansi terkait melakukan aksi penegakan hukum (law enforcement).


Pola kerjasama seperti ini telah banyak dilakukan oleh negara-negara lain misalnya Filipina. Pengelolaan suatu teluk misalnya, yang melibatkan lebih dari satu Pemerintah Daerah, kemudian menyusun suatu tim pekerja (technical working group), kelompok inilah menjembatani antara pemerintahan daerah dalam mengambil kebijakan-kebijakan pengelolaan teluk.

Aspek lain yang bersifat lintas batas adalah perhubungan laut, kabel dasar laut, dan pencemaran. Misalnya, pencemaran yang terjadi di wilayah perairan Lampung bisa saja menyebar ke wilayah perairan Jawa Barat, dan sebaliknya. Oleh karena itu, segenap aspek ini harus dikelola secara bersama antar kedua propinsi. Tim yang sama untuk perikanan dapat saja diberi tugas tambahan untuk menangani pengelolaan ketiga aspek ini.

Upaya-upaya yang perlu dilakukan guna menjawab tantangan/hambatan, yang meliputi eksplorasi, eksploitasi sumberdaya serta pengelolaan yang meliputi pelestarian, konservasi, rehabilitasi, pengamanan, keselamatan, pencemaran, abrasi, interusi, sedimentasi pada kawasan pesisir dan laut perbatasan antara propinsi meliputi:
  1. Upaya penyempurnaan peraturan tentang pemanfaatan ruang wilayah secara lebih operasional. Sehingga dapat memberikan peluang dan kemudahan bagi tumbuhnya investasi masyarakat/dunia usaha, acuan/pedoman dalam pengembangan wilayah perbatasan antara propinsi secara lebih efisien dan efektif bagi semua sektor pembangunan baik yang dilakukan pemerintah maupun masyarakat/dunia usaha. Dengan begitu dapat memberikan keuntungan bagi semua pihak khususnya masyarakat luas dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan bagi pembangunan berkelanjutan;

  1. Upaya pengelolaan pemanfaatan sumberdaya secara terpadu dan sinergis antara propinsi terhadap rencana pengembangan kawasan strategis regional (lintas wilayah dan sektor) melalui program-program pengembangan Wisata Bahari, Pengembangan Transportasi Laut, Pengelolaan Perikanan, Agroindustri dan Agrowisata terpadu.

  1. Upaya peningkatan kerjasama antar daerah (Tk I, Tk II) dalam optimalisasi pemanfaatan fasilitas sarana dan prasarana yang tersedia.

  1. Upaya bersama dalam peningkatan dan pengembangan institusi yang ada guna mengantisipasi dan memenuhi kebutuhan dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir dan laut untuk lebih meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

  1. Upaya-upaya bersama penerapan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi guna peningkatan kesejahteraan masyarakat/daerah dengan kerjasama berbagai pihak (stakeholders). Hal ini merupakan tantangan bagi perguruan tinggi (lembaga penelitian) di kedua propinsi untuk berperan aktif;

  1. Upaya pengendalian pemanfaatan sumberdaya yang ada dengan perencanaan yang tepat dalam menangani konservasi kawasan pesisir dan laut guna menjamin keberlanjutan fungsi kawasan melalui program-program rehabilitasi dan pelestarian SDA dan lingkungan hidup (terumbu karang, abrasi dan sedimentasi, pencemaran, ikan hias, bakau).


C.4. Pendekatan Co-management

Pada hakekatnya kebijakan pembangunan sumberdaya kelautan seperti yang diuraikan di atas beserta hasilnya adalah merupakan proses politik. Dalam pengertian, bahwa kebijakan tersebut tersusun dan terimplementasikan melalui proses negosisasi antar berbagai stakeholders. Oleh karena itu, keberhasilan segenap kaidah pembangunan berkelanjutan yang baik-baik seperti di atas sangat tergantung pada kemauan dan komitmen segenap stakeholders tersebut. Untuk dapat menarik kemauan dan komitmen politik stakeholders, maka pendekatan pembangunan masa lalu yang sangat sentralistik dan top-down harus diubah dengan pendekatan pembangunan yang bersifat partisipatif. Pengelolaan bersama antar pihak pemerintah, swasta, dan masyarakat lokal (LSM) seyogyanya diterapkan untuk mengelola pembangunan sumberdaya kelautan.


DAFTAR PUSTAKA

Aziz, K.A., M. Boer, J. Widodo, N. Naamin, M. H. Amarullah, B. Hasyim, A. Djamali dan B. E. Priyono, 1998. Potensi, Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. KOMNAS KAJISKANLUT, Jakarta.

Dirjen Perikanan, 1998. Statistik Perikanan 1998. Ditjen perikanan. Jakarta.

FAO, 1995. Cood of Conduct for Responsible Fisheries. FAO, Rome. Kamaluddin, L. M. 1999. Potensi Kelautan dan Ekonomi Rakyat. Harian Umum Republika, 17 Juli 1999.

Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB, 1998. Strategi Dasar Pembangunan Kelautan di Indonesia. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-dan P3O-LIPI. Bogor.

Rafiuddin, M. 1999. Otonomi Daerah Dalam Pengelolaan Sumberdaya Kelautan di Wilayah Pesisir. Makalah Rapat Koordinasi Proyek dan Kegiatan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Undang-Undang Pemerintahan Daerah.

WCED, 1987. Our Common Future. Oxford University Press, New York.


Lampiran:

Catatan: dtd = data tidak diperoleh; dta = data tidak ada Keterangan: (1) Selat Malaka, (2) Laut Cina Selatan, (3) Laut Jawa, (4) Selat Makasar dan Laut Flores, (5) Laut Banda, (6) Laut Seram sampai Teluk Tomini, (7) Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik, (8) Laut Arafura dan (9) Samudera Hindia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar