Selasa, 22 November 2011

illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan panjang garis pantai lebih dari 95.000 km dan juga memiliki lebih dari 17.504 pulau. Keadaan tersebut menjadikan Indonesia termasuk kedalam Negara yang memiliki kekayaan sumberdaya perairan yang tinggi dengan sumberdaya hayati perairan yang sangat beranekaragam. Keanekaragaman sumberdaya perairan Indonesia meliputi sumberdaya ikan maupun sumberdaya terumbu karang. Terumbu karang yang dimiliki Indonesia luasnya sekitar 7000 km2 dan memiliki lebih dari 480 jenis karang yang telah berhasil dideskripsikan. Luasnya daerah karang yang ada menjadikan Indonesia sebagai Negara yang memiliki kenekaragaman ikan yang tinggi.
Kekayaan sumberdayahayati perairan Indonesia yang tinggi akan sangat bermanfaat jika dilakukan pemanfaatan secara optimal dan bertanggung jawab. Pemanfaatan sumberdayahati perairan ini dapat dilakukan melalui proses penangkapan yang bertanggung jawab. Penangkapan ikan yang dilakukan adalah proses pemanfaatan sumberdaya perikanan yang bersifat ekonomis dari perairan secara bertanggung jawab. Dalam melakukan proses penangkapan, nelayan harus mengikuti peraturan yang berlaku. Salah satu peraturan yang
mengatur mengenai kegiatan penangkapan adalah Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) yaitu prinsip-prinsip tatalaksana perikanan yang bertanggungjawab. Tatalaksana ini menjadi asas dan standar internasional mengenai pola perilaku bagi praktek penangkapan yang bertanggung jawab dalam pengusahaan sumberdaya perikanan dengan maksud untuk menjamin terlaksananya aspek konservasi, pengelolaan dan pengembangan efektif sumberdaya hayati akuatik berkenaan dengan pelestarian.
Pemerintah Indonesia bertanggungjawab menetapkan pengelolaan sumberdaya alam Indonesia bagi kepentingan seluruh masyarakat, dengan memperhatikan kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya tersebut. Hal ini juga berlaku bagi sumberdaya perikanan, seperti ikan, lobster dan udang, teripang, dan kerang-kerangan seperti kima, dan kerang mutiara. Sumberdaya ini secara umum disebut atau termasuk dalam kategori dapat pulih. Namun, kemampuan alam untuk memperbaharui ini bersifat terbatas. Jika manusia mengeksploitasi sumberdaya melelebihi batas kemampuannya untuk melakukan pemulihan, sumberdaya akan mengalami penurunan, terkuras dan bahkan menyebabkan kepunahan.
Proses pemanfaatan sumberdaya perikanan di Indonesia saat ini banyak yang tidak sesuai dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Hal ini disebabkan oleh semakin bertambahnya kebutuhan dan permintaan pasar untuk ikan-ikan serta persaingan yang semakin meningkat. Keadaan tersebut menyebabkan nelayan melakukan kegiatan eksploitasi terhadap ikan-ikan secara besar-besaran dengan menggunakan berbagai cara yang tidak sesuai dengan kode etik perikanan yang bertanggung jawab. cara yang umumnya digunakan oleh nelayan adalah melakukan illegal fishing yang meliputi pemboman, pembiusan, dan penggunaan alat tangkap trawl. Semua cara yang dilakukan oleh nelayan ini semata-mata hanya menguntungkan untuk nelayan dan memberikan dampak kerusakan bagi ekosistem perairan.














1.2. Permasalahan.
Masyarakat Indonesia sangat bergantung pada sumberdaya produksi perikanan tangkap dan budidaya guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun sumberdaya tersebut saat ini sedang berada dalam kondisi terancam. Penangkapan ikan yang berlebihan, tidak mengikuti peraturan/undang-undang, serta tidak dilaporkan (IUU), menjadi masalah yang sangat serius pada sektor perikanan di Indonesia, termasuk pada perairan yang berbatasan  dengan negara tetangga lainnya.


















1.2. Tujuan Penulisan.
“Informasi ini sangat bermanfaat bagi para nelayan dalam meningkatkan keahlian mereka, dalam menangkap ikan secara efektif dan mencapai sasaran, dan melaksanakan kegiatan penangkapan yang bertanggung jawab untuk mempertahankan hasil yang berkelanjutan.”























II.  Pembahasan
2.2. Landasan Teori.
Menurut (Fauzi A, 2005). Secara faktual di beberapa perairan di Indonesia telah mengalami ‘tangkap lebih’ (over-fishing) terutama untuk perairan di sekitar Jawa, Sumatera dan sebagian Sulawesi akibat distribusi nelayan dan sarana perikanan yang tidak merata, dimana 35% nelayan Indonesia berada di pulau Jawa. Saat ini terdapat sekitar 7000 kapal asing yang beroperasi di perairan Indonesia. Kondisi tersebut belum termasuk ‘Illegal Unreported and Unregulated (IUU) Fishing’. Setiap tahun Indonesia rugi sekitar 20 triliun akibat kegiatan pencurian ikan. Selain kerugian finansial, kerugian terbesar dialami sumber daya perikanan itu sendiri. Apabila dijumlahkan secara keseluruhan, hasil tangkapan yang tergolong dalam IUU Fishing akan terlihat bahwa kerugian yang dialami Indonesia adalah sangat signifikan. Berdasarkan hasil penelitian global diperkirakan IUU Fishing mencapai 30-40 persen dari hasil tangkapan total. Dalam definisi kegiatan ilegal pencurian ikan, dimasukkan pula kategori hasil tangkapan yang tidak dilaporkan (unreported). Termasuk di dalamnya adalah hasil tangkapan sampingan (by catch) dan kegiatan perikanan yang tidak diatur dalam sistem peraturan dan perundang-undangan (unregulated).
Sejak pertengahan tahun 1990-an, sebagian ahli perikanan dunia memang telah melihat adanya kecenderungan hasil tangkapan perikanan global yang telah mencapai titik puncak. Bahkan di beberapa wilayah dunia, produksi perikanan telah menunjukkan gejala tangkap lebih (overfishing). Kondisi overfishing di beberapa bagian dunia dapat dibuktikan dengan membuat analisis rantai makanan (trophic level) terhadap ikan-ikan yang tertangkap. Hasil yang ada menunjukkan bahwa aktivitas perikanan oleh manusia menurunkan populasi ikan-ikan jenis predator utama, seperti tuna, marlin, cucut (Fauzi A. 2005).
Penangkapan berlebih atau ‘over-fishing’ sudah menjadi kenyataan pada berbagai perikanan tangkap di dunia – Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) memperkirakan 75% dari perikanan laut dunia sudah tereksploitasi penuh, mengalami tangkap lebih atau stok yang tersisa bahkan sudah terkuras – hanya 25% dari sumberdaya masih berada pada kondisi tangkap kurang (FAO, 2002). Total produksi perikanan tangkap dunia pada tahun 2000 ternyata 5% lebih rendah dibanding puncak produksi pada tahun 1995 (tidak termasuk Cina, karena unsur ketidak-pastian dalam statistik perikanan mereka). Sekali terjadi sumberdaya sudah menipis, maka stok ikan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk pulih kembali, walaupun telah dilakukan penghentian penangkapan.
Departemen Kelautan dan Perikanan, DKP, sangat memahami permasalahan penangkapan berlebih di perairan laut Indonesia Bagian Barat, khususnya perairan pantai utara Jawa. Didorong oleh harapan publik dimana sektor perikanan harus memberikan kontribusi terhadap peningkatan GNP Indonesia melalui peningkatan produksi hasil tangkap, DKP sekarang sedang mencari ‘sumberdaya yang tidak pernah habis’ tersebut di Indonesia Bagian Timur (Widodo, 2003). Pertanyaannya adalah sampai sejauh mana perairan laut Indonesia Bagian Timur bisa dikembangkan untuk perikanan tangkap dengan memperhatikan aspek keberlanjutan sumberdaya. Apakah perairan Indonesia Bagian Timur termasuk bagian dari 25% perikanan tangkap dunia, yang menurut FAO bisa dikembangkan lebih lanjut?
Dengan jumlah alat tangkap yang dimiliki armada perikanan dunia saat ini serta dibarengi kemajuan teknologi yang ada, nelayan modern tidak perlu lagi mencari-cari daerah penangkapan terlalu lama seperti yang dilakukan generasi terdahulu, di mana mereka harus berlayar berhari-hari untuk mencapai fishing ground atau daerah penangkapan ikan.Akibat dari berkurangnya populasi ikan pada trophic level tinggi, tingkat eksploitasi terhadap jenis ikan yang berada pada tingkat trophic level yang lebih rendah, seperti ikan-ikan pelagis kecil dan cumi-cumi, akan meningkat. Kecenderungan demikian disebut Fishing Down Marine Food Web, yang pertama kali diperkenalkan( Pauly et al, 2002 dalam Fauzi A .2003)
Konsep MSY sudah dibuktikan tidak efektif sebagai alat pengelolaan perikanan, tidak saja di Indonesia, tetapi juga pada berbagai perikanan di dunia. Khusus untuk Indonesia dengan karakteristik perikanan tangkap ‘multi-alat’ dan ‘multi-spesies’, hampir tidak mungkin atau paling tidak, sangat mahal sekali untuk mendapatkan data yang memenuhi kualitas dan bisa digunakan untuk menduga MSY (Widodo, Wiadnyana & Nugroho, 2003). Bahkan, jika data tersedia maka hasil perhitungan tampaknya akan mendapatkan dugaan MSY yang terlalu optimistik. Dengan demikian, sangat tepat dan sudah saatnya untuk tidak lagi berpedoman semata pada nilai MSY sebagai tujuan pengelolaan.




2.3. Analisi Masalah.
A. Mengelola Sumber Daya Perikanan Secara Bertanggung Jawab.
Kondisi perikanan dunia saat ini tidak dapat lagi dikatakan masih berlimpah. Tanpa adanya konsep pengelolaan yang berbasis lingkungan, dikhawatirkan sumber daya yang sangat potensial ini (sebagai sumber protein yang sehat dan murah) bisa terancam kelestariannya. Karena itu, sidang Organisasi Pangan Sedunia (FAO) memperkenalkan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) sejak 1995. Konsep yang diterjemahkan sebagai Tata Laksana Perikanan yang Bertanggung Jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries) tersebut telah diadopsi oleh hampir seluruh anggota badan dunia sebagai patokan pelaksanaan pengelolaan perikanan. Sekalipun sifatnya sukarela, banyak negara telah sepakat bahwa CCRF merupakan dasar kebijakan pengelolaan perikanan dunia. Dalam pelaksanaannya, FAO telah mengeluarkan petunjuk aturan pelaksanaan dan metode untuk mengembangkan kegiatan perikanan yang mencakup perikanan tangkap dan budidaya.
Kecenderungan ini tidak bisa dibiarkan karena pada akhirnya manusia hanya akan bisa menyantap sup ubur-ubur dan plankton. Sekarang tindakan nyata yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan illegal fishing pada ikan-ikan karang khususnya untuk memperbaiki daerah karang yang rusak adalah dengan melakukan transpalasi karang ataupun pembuatan terumbu karang buatan. Terumbu karang buatan adalah suatu struktur yang dibangun untuk menyediakan lingkungan, habitat, sumber makanan, tempat pemijahan dan asuhan, serta perlindungan pantai sebagaimana halnya terumbu karang alam.
Karena pemerintah yang belum menunjukkan perhatian yang optimal dalam mengelola sistem alami dan kualitas lingkungan kawasan pesisir dan lautan khususnya terumbu karang dan lemahnya penegakan hukum (law enforcement). Tapi kita tidak bisa terus menunggu hal ini berubah kita semua harus turun tangan terutama yang peduli. Kita dapat turut mengawasi penegakan hukum, mengawasi jika terjadi pengerusakan terumbu karang, dan terus menyuarakan dan bertukar pikiran dengan nelayan akan betapa pentingnya terumbu karang terhadap hasil tangkapan ikan mereka nanti. Dengan Terlaksananya semua hal di atas pasti akan memberikan dampak nyata pada nelayan dan kelestarian terumbu karang walau mungkin tidak dalam waktu singkat untuk menyelesaikan masalah ini sepenuhnya.
B. Kegiatan dan Dampak dari Illegal Fishing
Illegal fishing merupakan kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan tidak bertanggung jawab dan bertentangan oleh kode etik penangkapan bertanggung jawab Illegal fishing termasuk kegiatan mall praktek dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan yang merupakan kegiatan pelanggaran hukum. Kegiatan illegal fishing umumnya bersifat merugikan bagi sumberdaya perairan yang ada. Kegiatan ini semata-mata hanya akan memberikan dampak yang kurang baik baik ekosistem perairan akan tetapi memberikan keuntungan yang besar bagi nelayan. Dalam kegiatan panangkapan yang dilakukan nelayan dengan cara dan alat tangkap yang bersifat merusak yang dilakukan oleh nelayan khususnya nelayan traditional. Untuk menangkap sebanyak-banyaknya ikan-ikan karang yang banyak digolongkan kedalam kegiatan illegal fishing karena kegiatan penangkapan yang dilakukan semata-mata memberikan keuntungan hanya untuk nelayan tersebut dampak berdampak kerusakan untuk ekosistem karang. Kegiatan yang umumnya dilakukan nelayan dalam melakukan penangkapan dan termasuk kedalam kegiatan illegal fishing adalah penggunaan alat tangkap yang dapat merusak ekosistem seperti kegiatan penangkapan dengan pemboman, penangkapan dengan menggunakan racun serta penggunaan alat tangkap trawl pada daerah yang karang.
Setiap tahun lebih 3.000 kapal ikan asal Thailand melakukan kegiatan illegal fishing di kawasan laut Indonesia. Akibat kegiatan tersebut, Indonesia kehilangan pendapatan sekitar 3 miliar sampai 6 miliar dollar AS per tahun. Akumulasi selama 30 tahun terakhir kerugian yang dialami Indonesia sekitar 209 miliar dollar AS. perikanan IUU (Illegal, Unreported, Unregulated) ibarat virus yang perlahan-lahan melumpuhkan dan mematikan industri perikanan Indonesia. Jika Indonesia sebagai bangsa tidak melakukan aksi nyata untuk mencegahnya, industri perikanan kita akan mati dibuatnya. Nelayan akan kehilangan kesempatan berusaha dan bekerja. “Industri pengolahan perikanan yang sudah sekarat saat ini akan mati dan sulit bangkit kembali. Perdagangan dan jasa perikanan akan lenyap. Karena itu masalah perikanan IUU ini perlu dipikirkan, dibahas, dan menjadi perhatian orang banyak. Bangsa ini harus serius memperhatikan masalah ini,”



C. Kegiatan penangkapan dengan menggunakan bahan peledak
Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak merupakan cara yang sering digunakan oleh nelayan traditional didalam memanfaatkan sumberdaya perikanan khususnya didalam melakukan penangkapan ikan-ikan karang. Penangkapan ikan-ikan karang dengan menggunakan bahan peledak dapat memberikan akibat yang kurang baik baik bagi ikan-ikan yang akan ditangkap maupun untuk karang yang terdapat pada lokasi penangkapan. Penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan di sekitar daerah terumbu karang menimbulkan efek samping yang sangat besar. Selain rusaknya terumbu karang yang ada di sekitar lokasi peledakan, juga dapat menyebabkan kematian biota lain yang bukan merupakan sasaran penangkapan. Oleh sebab itu, penggunaan bahan peledak berpotensi menimbulkan kerusakan yang luas terhadap ekosistem terumbu karang.
Penggunaan bahan peledak di daerah terumbu karang akan menghancurkan struktur terumbu karang dan dapat meninggalkan gunungan serpihan karang hingga beberapa meter lebarnya. Selain memberi dampak yang buruk untuk karang, kegiatan penangkapan dengan menggunkan bahan peledak juga berakibat buruk untuk ikan-ikan yang ada. Ikan-ikan yang ditangkap dengan menggunakan bahan meledak umumnya tidak memiliki kesegaran yang sama dengan ikan-ikan yang ditangkap dengan menggunakan alat tangkap ramah lingkungan. Walaupun demikian adanya, nelayan masih tetap menggunakan bahan peledak didalam melakukan kegiatan penangkapan karena hasil yang mereka peroleh cendrung lebih besar dan cara yang dilakukan untuk melakukan proses penangkapan tergolong mudah.
D. Kegiatan penangkapan dengan menggunakan bahan beracun
Selain penggunaan bahan peledak didalam penangkapan ikan diderah karang, kegiatan yang marak dilakukan oleh nelayan adalah dengan menggunakan obat bius atau bahan beracun lainnya. Bahan beracun yang umum dipergunakan dalam penangkapan ikan dengan pembiusan seperti sodium atau potassium sianida. Seiring dengan meningkatnya permintaan konsumen terhadap ikan hias dan hidup memicu nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan yang merusak dengan menggunakan racun sianida. Kegiatan ini umum dilakukan oleh nelayan untuk memperoleh ikan hidup.
Hasil yang diperoleh dengan cara ini memang merupakan ikan yang masih hidup kan tetapi penggunaannya pada daerah karang memberikan dampak yang sangat besar bagi terumbu karang. Selain itu penangkapan dengan cara ini dapat menyebabkan kepunahan jenis-jenis ikan karang tertentu. Racun tersebut dapat menyebabkan ikan besar dan kecil menjadi mabuk dan mati. Disamping mematikan ikan-ikan yang ada, sisa racun dapat menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan terumbu karang, yang ditandai dengan perubahan warna karang yang berwarna warni menjadi putih yang lama kelamaan karang menjadi mati. Indikatornya adalah karang mati
Dengan meningkatkan kesadaran nelayan maka pemikiran nelayan akan terbuka dan nelayan akan mengerti betapa merugikannya melakukan kegiatan illegal fishing dalam proses penangkapan ikan khususnya pada daerah karang sehingga kegiatan penangkapan tersebut dapat beralih menjadi penangkapan yang ramah lingkungan dan menjadikan ekosistem perairan khususnya ekosistem terumbu karang tempat dimana dilakukannya proses penangkapan dapat lestari. Peningkatan kesadaran ini dapat dilakukan dengan dilakukannya penyuluhan ke wilayah nelayan, dan pendidikan dari kecil di sekolah daerah pesisir. Agar betul-betul bisa langsung menyerang akar permasalahan dan menanamkan kesadaran sejak awal untuk menjaga terumbu karang.
Walau kesadaran sudah tercipta tapi tetap tidak akan bertahan lama jika masalah kesejahteraan nelayan tidak segera ditangani. Oleh sebab itu sangat membutuhkan campur tangan pemerintah karena memang sudah seharusnya begitu.Dengan adanya bantuan pemerintah yang tepat sasaran maka peningkatan kesejahteraan nelayan sudah tidak jadi sekedar impian lagi tapi dapat diwujudkan.
E. Kegiatan penangkapan dengan menggunakan alat tangkap trawl
Kegiatan lain yang termasuk kedalam kegiatan illegal fishing adalah penggunaan alat tangkap trawl pada daerah karang. Kegiatan ini merupakan kegiatan penangkapan yang bersifat merusak dan tidak ramah lingkungan. Penggunaan alat tangkap trawl pada daerah karang dapat dilihat pada kasus yang terjadi di perairan Bagan Siapi-Api Provinsi Sumatera Utara dan di Selat Tiworo Provinsi Sulawesi Tenggara. Sebagaimana telah kita ketahui bersama, penggunaan alat tangkap ini sudah dilarang penggunaannya di Indonesia karena alat tangkap tersebut termasuk kedalam alat tangkap yang sangat tidak ramah lingkungan karena memiliki selektifitas alat tangkap yang sangat buruk. Nelayan di sulawesi Utara cendrung tidak memperdulikan hukum yang ada. Mereka tetap melakukan proses penangkapan dengan menggunakan alat tangkap trawl. Alat yang umumnya digunakan oleh nelayan berupa jaring dengan ukuran yang sangat besar, memilki lubang jaring yang sangat rapat sehingga berbagai jenis ikan mulai dari ikan berukuran kecil sampai dengan ikan yang berukuran besar dapat tertangkap dengan menggunakan jaring tersebut.
Cara kerjanya alat tangkap ditarik oleh kapal yang mana menyapu ke dasar perairan. Akibat penggunaan pukat harimau secara terus menerus menyebabkan kepunahan terhadap berbagai jenis sumber daya perikanan. Hal ini dikarenakan ikan-ikan kecil yang belum memijah tertangkap oleh alat ini sehingga tidak memiliki kesempatan untuk memijah dan memperbanyak spesiesnya. Selain hal tersebut, dampak yang ditimbulkan oleh penggunaan alat tangkap ini pada daerah karang adalah rusaknya terumbu karang akibat tersangkut ataupun terbawa jarring. Jarring yang tersangkut akann menjadi patah dan akhirnya menghambat pertumbuhan dari karang itu sendiri. Apabila hal ini terus berlanjut maka ekosistem karang akan mengalami kerusakan secara besar-besaran dan berakibat pada punahnya ikan-ikann yang berhabitat pada daerah karang tersebut.
F. Pengelolaan sumber daya perikanan di Indonesia.
Sampai saat ini pihak pemerintah, yakni Departemen Kelautan dan Perikanan yang merupakan pengelola sumber daya perikanan, terus mencari dan menyempurnakan cara yang tepat untuk diterapkan. Salah satu contoh adalah pembagian daerah perairan Indonesia menjadi sembilan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Pembagian wilayah ini didasarkan pada daerah tempat ikan hasil tangkapan didaratkan di pelabuhan. Pengelompokan tidak didasarkan pada kemiripan ekosistem yang ada, tetapi lebih kepada lokasi pendaratan ikan. Hal ini berpotensi misleading karena dapat terjadi bahwa WPP Laut Jawa dianggap memproduksi tuna tinggi, padahal tuna tersebut sebenarnya berasal dari Samudera Hindia. Tuna ini seolah-olah berasal dari Laut Jawa karena didaratkan di Pelabuhan Muara Baru Jakarta, yang masuk WPP Laut Jawa.Aspek pengelolaan wilayah ini erat kaitannya dengan kondisi stok ikan di perairan Indonesia.
Kemampuan menduga jumlah populasi ikan (stock assessment) secara akurat sangat ditentukan ketersediaan informasi dan data yang tepat. Hal ini sudah menjadi perhatian para peneliti maupun pengambil kebijakan di lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan. Namun, penentuan jumlah tangkap maksimum lestari (maximum sustainable yield) atau yang lazim dikenal dengan MSY perlu disikapi hati- hati. Berbagai asumsi dalam perhitungan MSY telah banyak berubah dan tidak valid lagi. Salah satu contoh adalah faktor teknologi yang berkembang dengan pesat sehingga kemampuan penangkapan oleh satu unit alat tangkap (catch per unit effort/CPUE) akan sangat dinamis mengikuti perkembangan teknologi. Artinya, koefisien kemampuan penangkapan (catchability coefficient) yang digunakan dalam perhitungan MSY tidak dapat dianggap konstan karena sangat bergantung pada perkembangan teknolog
Sungguh, masalah berlebihnya alat penangkapan ikan khususnya di perairan pesisir pantai adalah masalah yang kompleks dan penting untuk segera dicarikan pemecahannya. Pemanfaatan sumberdaya ikan yang tak terkendali di beberapa wilayah perairan telah menyebabkan degradasi yang sangat tajam akan stok sumberdaya ikan dan ekologi perairan. Banyaknya alat tangkap (baik dalam jenis maupun jumlah) yang terkonsentrasi di pantai, diyakini telah mendorong tingginya tekanan penangkapan dan kompetisi antar nelayan. Disisi lainnya, nasib nelayan sebagai pelaku utama dalam perikanan, belum juga terentaskan. Bertambahnya nelayan yang tidak terkontrol di beberapa wilayah perairan ditengarai telah melampaui batas maksimum, sehingga keberadaannya perlu dievaluasi lebih lanjut.
Pengaturan sumberdaya ikan yang didasarkan pada penghitungan jumlah stok ikan dan beberapa metoda pengaturan penangkapan ikan sudah sudah banyak dilakukan. Namun demikian, usaha-usaha tersebut belum juga memperlihatkan kemajuan yang menggembirakan. Bahkan, angka-angka potensi stok sumberdaya ikan yang dijadikan dasar pengelolaan sumberdaya ikan sering diragukan kebenarannya dan tidak jarang menjadi bahan perdebatan berkaitan dengan angka-angka yang kurang sesuai dengan kondisi sesungguhnya. Bertolak dari fakta-fakta tersebut di atas, maka sudah waktunya Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) untuk segera membenahi model pengelolaan perikanan khususnya perikanan skala kecil di pesisir pantai dengan menerapkan Management of Fishing Capacity seperti yang dihimbau oleh FAO.
Meskipun tidak memberikan jawaban kuantitatif akan besaran kapasitas maksimum suatu perikanan, pendekatan fishing capacity layak untuk dipertimbangkan dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Disamping karena metoda yang dikembangkan tidak memerlukan data yang sulit, metoda penghitugan fishing capacity juga sangat cocok untuk dikembangkan di negara-negara berkembang dimana sistem pendataannya kurang begitu sempurna. Dibandingkan dengan metoda penghitungan analitik konvensional yang relatif sulit dan memerlukan waktu yang relatif panjang, pendekatan fishing capacity memberikan alternatif pemecahan bagi pengelolaan sumberdaya ikan secara cepat dan sederhana dengan tingkat keilmiahan yang bisa dipertanggung jawabkan. Dengan demikian, metoda fishing capacity dapat dijadikan sebagai alternatif utama bagi dasar pengelolaan sumberdaya ikan pada perairan-perairan yang masih langka data-data penelitian ilmiahnya. Sebagai langkah awal, maka DKP dapat memulainya dengan mengkaji fishing capacity dan keragaan setiap alat tangkap di setiap perairan Indonesia, kemudian menentukan kebijakan-kebijakan strategis selanjutnya.
Mengingat hampir 80% perikanan Indonesia didominasi oleh perikanan skala kecil yang beroperasi di wilayah pesisir dimana konflik dan degradasi paling dominan terjadi, maka mandat pengelolaan perikanan yang lebih besar perlu diberikan kepada pemerintahan lokal, agar pengelolaan sumberdaya ikan termasuk jumlah armada maupun jenis alat tangkap yang dioperasikan dapat dikontrol berdasarkan wilayah perairan secara akurat.
G. Yang tak dilaporkan
Hal lain yang ingin di tekankan adalah pemahaman mengenai Illegal Unreported and Unregulated (IUU) Fishing. Setiap tahun Indonesia rugi Rp 1-4 miliar dollar AS akibat kegiatan pencurian ikan. Selain kerugian finansial, kerugian terbesar dialami sumber daya perikanan itu sendiri.Apabila dijumlahkan secara keseluruhan, hasil tangkapan yang tergolong dalam IUU Fishing akan terlihat bahwa kerugian yang dialami Indonesia adalah sangat signifikan. Berdasarkan hasil penelitian global diperkirakan IUU Fishing mencapai 30-40 persen dari hasil tangkapan total. Dalam definisi kegiatan ilegal pencurian ikan, dimasukkan pula kategori hasil tangkapan yang tidak dilaporkan (unreported). Termasuk di dalamnya adalah hasil tangkapan sampingan (by catch) dan kegiatan perikanan yang tidak diatur dalam sistem peraturan dan perundang-undangan (unregulated). Terhadap kedua kategori tersebut, masih sangat minim perhatian yang diberikan, baik oleh para peneliti maupun pengelola perikanan Indonesia.
Dalam banyak kesempatan, komponen unreported dan unregulated masih dianggap tabu untuk dilaporkan, atau tidak perlu dilaporkan sama sekali. Padahal, untuk mengelola suatu sumber daya perikanan yang besar, seperti yang dimiliki Indonesia, persoalan resource accounting sangat penting. Ini untuk memberikan informasi akurat tentang berapa besar sumber daya (perikanan) yang dimiliki dan berapa banyak pula jumlah yang diekstrak dari total ketersediaan sumber daya tersebut melalui kegiatan resmi perikanan.Saat ini kegiatan pencurian ikan telah menjadi isu yang sangat penting dalam manajemen perikanan dunia. Masalah ini telah berkembang menjadi masalah global sehingga FAO mengeluarkan guideline dalam bentuk Rencana Kerja Internasional (International Plan of Action) sebagai usaha internasional untuk pencegahan dan pemberantasan kegiatan yang sangat merugikan ini.
H. Saran pengelolaan.
Agar pengelolaan optimal, berbagai informasi seperti data hasil tangkapan (jenis ikan, ukuran, dan jumlah), daerah tangkapan (fishing ground) serta upaya penangkapan (effort) merupakan informasi kunci untuk dapat membuat suatu analisis pendugaan stok (stock assessment) yang baik. Keberhasilan analisis stock assessment sangat bergantung pada akurasi data yang dipakai. Pembagian WPP yang ada saat ini lebih ditujukan untuk memudahkan sistem pendataan. Perlu kiranya dipikirkan untuk membuat pengelompokan berdasarkan kondisi lingkungan perairan dan sifat- sifat bio-ekologis sumber daya perikanan yang terkandung di dalamnya. Hasil kajian para pakar perikanan Indonesia menunjukkan kondisi tangkap lebih (overfishing) pada beberapa wilayah perairan Indonesia termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Keadaan demikian mengharuskan pihak pengelola (DKP) untuk membatasi pemberian izin penangkapan ikan di daerah-daerah tersebut. Perlu dilakukan rasionalisasi penangkapan (effort rationalization) untuk mendorong tingkat pemanfaatan yang berlebihan di suatu wilayah menjadi berkurang atau terdistribusi secara lebih merata. Hal ini dapat dilihat dari ketidak-seimbangan fishing effort antara Indonesia bagian Barat dan Indonesia bagian Timur.
Di bagian lain, strategi untuk memperkuat peraturan dan perundang-undangan yang jelas dan disiplin dalam membatasi masuknya perusahaan dan individu baru dalam kegiatan perikanan harus ditingkatkan. Agar semua berjalan baik, diperlukan adanya peraturan dan perundang-undangan yang jelas untuk mengawasi jalannya pemberian izin penangkapan ikan dan budidaya. Pemanfaatan alat tangkap yang merusak lingkungan, seperti trawl, bahan peledak, dan racun sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup biota lainnya di dalam ekosistem sebaiknya dilarang.Langkah terakhir dalam menyelamatkan sumber daya ikan, terutama di laut, adalah menciptakan daerah-daerah perlindungan laut (marine protected areas). Opsi ini adalah kunci keberhasilan pengelolaan perikanan berbasis lingkungan. Sama halnya dengan makhluk hidup lainnya, di mana diperlukan tempat yang aman dari pemangsaan, demikian pula halnya dengan populasi ikan di laut. Dengan diciptakannya daerah-daerah (zones) yang aman di dalam daerah perlindungan laut dari penangkapan (partial no-take zones), maka diharapkan populasi ikan yang telah mengalami tangkap lebih akan pulih.
I. Kegiatan Perikanan tangkap
Termotivasi oleh adanya fakta bahwa cadangan ikan semakin menurun, kegiatan  pengembangan difokuskan pada analisa dan pengumpulan data jumlah tangkapan yang sahih, serta pengembangan model perikanan untuk memperbaiki informasi dan pengelolaannya. Proyek ini mencakup tentang kakap merah, hiu dan ikan pari, tuna dan penangkapan ikan yang tidak terdata (IUU).
Potensi perikanan di republik ini sungguh sangat berlimpah di perairan darat maupun di lautan, namun sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan rakyat. Karena kebokbrokan mental aparatur negara hasil perikanan laut kita terkuras oleh 'ilegal fishing' -nyaris sama seperti hutan kita yang gundul oleh 'ilegal logging', semuanya hanya dinikmati sekelompok rakus yang tidak memikirkan kemajuan bangsa bersama. Bundel kliping info perikanan ini semoga dapat menghimpun segala informasi untuk menggugah masyarakat luas akan urgensi penyelamatan potensi perikanan nasional khususnya perikanan laut agar tetap lestari bagi kemakmuran anak cucu kita.
J. Kegiatan Perikanan Budidaya
Sebagai alternatif dari perikanan tangkap adalah perikanan budidaya meski tetap perlu disikapi hati-hati. Penyebabnya adalah apabila memelihara ikan predator, hal ini hanya akan membuat pembudidayaannya harus menangkap ikan secara berlebihan di laut untuk membuat pakan. Dengan kata lain, ikan-ikan budidaya jenis karnivora tidak akan membuat keadaan menjadi lebih baik bagi stok ikan di laut.Apabila membudidayakan ikan-ikan jenis memiliki herbivora (trophic level rendah), maka hal ini akan memberikan nilai tambah dalam usaha konservasi populasi ikan di laut, karena tidak akan mengeksploitasi sumber daya ikan di laut untuk konsumsi ikan budidaya yang sebenarnya cocok untuk konsumsi manusia.Penelitian yang mengarah pada pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan yang berbasis ekosistem sangat diperlukan untuk dijadikan dasar pengambilan kebijakan nasional maupun daerah. Hubungan antara kondisi perairan, seperti sifat-sifat oseanografis, dan sumber daya ikan yang terkandung di dalamnya harus dapat dimengerti dan dapat diakses dengan baik agar dapat dijadikan modal informasi bagi para nelayan dan petambak untuk menentukan kegiatan mereka.
K. Politik Pencurian Ikan Oleh Kapal Asing.
            Pencurian ikan oleh kapal-kapal asing di wilayah perairan indonesi tampaknya sudah pada taraf yang mengkhawatirkan. Bukan hanya masalah kedaulatan wilayah yang diobarak abrik, namun lebih dari kerugian ekonomi (economic loss) yang diderita juga sangat besar. Kementerian kelautan dan perikanan memperkirakan kerugian sekitar 16,6 triliun dialami oleh negara karena pencurian ikan oleh kapal asing tersebut.
            Kerugian ini sebetulnya belum termasuk (future los) yang di akibatkan oleh menurunnya kemampuan sumberdaya ikan untuk menghasilkan rente ekonomi di masa mendatang. Kejengkelan kita memang cukup beralasan. Bahkan badan PBB pun mencatat lebih dari 100 negara berperkara (dispute) soal pencurian ikan ini. Reaksi yang ditimbulkanpun tidak kalh sengitnya. Di British Colombia, Kanada, misalnya, para nelayan sempat memblokade kapal pesiar yang berlayar ke Alaska selama beberapa hari akibat klaim Kanada atas pencurian salmon oleh para nelayan amerika. Kasus Salmon War ini akhirnya menjadi isu politik yang sempat membuat kursi gubernur negara bagian British Colombia hampir terjungkal. Demikian juga yang kita rasakan disini meskipun tidak seheboh di British Colombia, rasanya kita sangat terusik oleh pencurian aset sumberdaya ikan kita.
            Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tinggi di negera-negar maju dan NIC (Newly Industrikized Countries) Seperti Taiwan dan korea cenderung menimbulkan gap yang makin lebar antara permintaan akan konsumsi ikan dan kemampuan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan luas perairan yang relatively given dan stok yang secara global mulai menurun yang menyebabkan negera-negar tersebut berusaha mengembangkan kapasitas armada jarak jauhnya (distant fleet) untuk mempersempit gap tersebut. Dalam industri perikanan, negara-negar itu disebut Distant Water  Fishing (DWF) Contries.
            Demi harga diri, harkat, dan martabat bangsa Indonesia, perikanan IUU (illegal, unreported, inregulated) di perairan Indonesia harus dilawan. Penyusupan nelayan asing harus dicegah. Penjarahan sumber ekonomi rakyat harus dihentikan. Perusakan sumber daya ikan harus diakhiri karena setiap tahun Indonesia kehilangan pendapatan dari laut Rp 40 triliun akibat illegal fishing. betapa besar kerugian yang dialami Indonesia karena kita kurang peduli dan perhatian pada laut. Angka Rp 40 triliun ini penting diketahui generasi muda agar tumbuh kesadaran dan ke depan lebih peduli dengan masalah kelautan.  masa depan Indonesia sebenarnya ada di laut. Indonesia dilimpahi Tuhan dengan sumber daya laut yang luas. Dua pertiga wilayah Indonesia adalah laut, dengan lebih dari 17.000 pulau, 81.000 kilometer garis pantai, berbagai organisme laut, serta berbagai jenis ikan yang potensi lestarinya diperkirakan lebih dari 6 juta ton per tahun.
Ini merupakan fakta ciptaan sekaligus suratan takdir bagi Indonesia sebagai negara kepulauan, sebagai bangsa yang seharusnya dapat memanfaatkan dan mengandalkan sumber daya kelautan, khususnya sumber daya ikan, bagi kesejahteraan rakyatnya,” tandasnya. Indonesia punya potensi ikan tuna, udang, rumput laut, ikan hias, yang apabila dimanfaatkan akan mendatangkan pendapatan yang tidak sedikit. Di balik itu, investasi mesti terus dilakukan.Jika Departemen Kehutanan mendapatkan anggaran Rp 8 triliun, seharusnya besaran yang sama bisa didapatkan Departemen Kkelautan dan Perikannaan. Selama ini, lanjut Adhyaksa, kita anggap laut sebagai tempat buangan. Padahal, di situlah masa depan Indonesia. Laut menyimpan banyak kekayaan yang belum diolah. Di darat, potensi kehutanan sudah habis, dieksploitasi besar-besaran. Sementara laut belum.
jika potensi sumber daya kelautan ini bisa dioptimalkan pemanfaatan dan produksinya, Indonesia tak perlu lagi mengirim tenaga kerja ke luar negeri. Martabat bangsa Indonesia bisa lebih baik. Generasi muda harus punya semangat dan kemauan yang kuat untuk menghentikan praktik illegal fishing. Harus punya hati nurani yang pro pada kehidupan rakyat. Generasi muda harus memiliki komitmen bersama untuk menjaga persada ini.
L. Perspektif Baru Pengelolaan Sumberdaya Ikan
Badan Pangan Dunia (FAO) melaporkan bahwa stok sumberdaya ikan baik secara global maupun regional pada dekade terakhir ini telah mengalami penurunan yang sangat drastis. Berdasarkan beberapa kajian yang dilakukan, penyebab penurunan stok sumberdaya ikan dunia dapat dikelompokkan menjadi dua faktor utama, yaitu adanya perubahan lingkungan (baik perubahan iklim global maupun penurunan kualitas lingkungan) dan peningkatan pemanfaatan sumberdaya ikan yang diakibatkan oleh makin meningkatnya kebutuhan protein hewani masyarakat dunia. Pertambahan penduduk dunia yang begitu cepat telah meningkatkan permintaan ikan. Peningkatan upaya penangkapan ikan (baik peningkatan dalam jumlah armada penangkapan ikan maupun teknologi penangkapan) yang tidak terkendali pada sebagian besar negara pada masa lalu telah mendorong percepatan terjadinya penurunan stok sumberdaya ikan di sebagian besar perikanan dunia.
Upaya perbaikan terhadap kondisi sumberdaya ikan bukannya tidak dilakukan. FAO dan beberapa negara telah mencoba untuk mengembangkan dan menerapkan beberapa metoda kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan yang didasarkan pada kajian aspek biologi, seperti penerapan TAC (Total Allowable Catch), ITQ (Individual Transferable Quota), MSY (Maximum Sustainable Yield), dan sebagainya. Namun, upaya tersebut rupanya belum membuahkan hasil yang optimum. Kerusakan sumberdaya ikan masih saja terus berlangsung tanpa dapat dikendalikan.
Satu hal yang sering dilupakan dalam pendekatan klasik yang didasarkan pada aspek biologi adalah, dikesampingkannya aspek perilaku nelayan dalam mengalokasikan atau pengoperasian alat tangkapnya. Sebagai mega-predator, nelayan mempunyai perilaku yang sangat unik dalam merespon baik perubahan sumberdaya ikan, iklim maupun kebijakan yang diterapkan. Sejarah collapse-nya perikanan anchovy di Peru telah memberi pelajaran kepada kita bahwa kebijakan pembatasan upaya penangkapan tanpa dibarengi dengan pengetahuan yang baik dalam mengantisipasi perilaku nelayan dalam merespon setiap perubahan baik internal maupun external stok sumberdaya ikan telah menggagalkan upaya untuk keberlanjutan kegiatan perikanan. Perlu disadari, bahwa sesungguhnya pengelolaan sumberdaya ikan bukanlah mengatur sumberdaya ikan semata, namun yang lebih penting adalah bagaimana mengantisipasi perilaku nelayan sehingga sejalan dengan kebijakan yang diterapkan.
Berdasarkan pada kenyataan tersebut, maka FAO pada tahun 1998 mencoba mencari terobosan baru guna mengatasi permasalahan yang ada. Karena sumber utama dari semua kerusakan perikanan di beberapa negara adalah sulitnya mengontrol input (armada penangkapan) bagi perikanan, maka pengelolaan perikanan kemudian didekati dengan pengaturan kapasitas penangkapan dari alat tangkap itu sendiri atau dalam istilah FAO adalah Management of Fishing Capacity. Untuk mewujudkan rencana besar tersebut, FAO mengajak seluruh negara untuk berpartisipasi dengan mengelola perikanannya seefisien mungkin dan menerapkan Management of Fishing Capacity sebelum tahun 2005.



M. Kendala yang dihadapi dalam penanganan IUU Fishing adalah :

1. Lemahnya pengawasan

a. masih terbatasnya sarana prasarana dan fasilitas pengawasan;

b. SDM pengawasan yang masih belum memadai terutama dari sisi kuantitas;

c. belum lengkapnya peraturan perundang-undangan di bidang perikanan,

d. masih lemahnya koordinasi antara aparat penegak hukum baik pusat maupun daerah;

e. belum berkembangnya lembaga pengawasan;

f. Penerapan sistem MCS yang belum sempurna

2. Belum tertibnya perijinan -

a. Pemalsuan Ijin, penggandaan ijin

3. Lemahnya Law Enforcement

4. Wibawa hukum menurun

5. Ketidak adilan bagi masyarakat

6.  Maraknya pelanggaran & illegal

Penanggulangan IUU Fishing


1. Sistem Pengelolaan
a.  Perumusan Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan dengan cara Pelestarian: Perlindungan, Pengawetan dan Rehabilitasi, Pengalokasian dan penataan pemanfaatan, Penyusunan Peraturan, Perijinan dan pemanfaatan Sumberdaya ikan.

2. Kebijakan dengan Visi Pengelolaan SDKP tertib dan bertanggung jawab
a. Meningkatkan kualitas pengawasan secara sistematis dan terintegrasi agar pengelolaan SDKP berlangsung secara tertib dengan cara operasi pengawasan dan penegakan hukum.
b. Meningkatkan apresiasi dan partisipasi masyarakat dalam pengawasan SDKP dengan cara pengembangan sistem pengawasan berbasis masyarakat seperti pembentukan kelompok apengawas masyarakat (Pokmaswas).
3. Strategi
a. Optimalisasi Implementasi MCS (Monitoring, Controlling, Surveillancea) dalam pengawasan dengan cara Peningkatan Sarana dan Prasarana pengewasan dan Mengintegrasikan komponen MCS (VMS, Kapal Partroli, Pesawat Patroli Udara, Alat Komunikasi, Radar Satelit/Pantai, Siswasmas, Pengawas Perikanan (PPNS) dan Sistem Informasi Pengawasan dan Pengendalian SDKP) dalam satu system yang sinergis.
b. Pembentukan Kelembagaan Pengawasan di Tingkat Daerah.

Dasar Pembentukan Kelembagaan ini yaitu : Belum adanya lembaga pengawasan yang
mandiri, Lambannya penanganan operasi dan penanganan perkara, Rentang kendali dan koordinasi yang panjang, Ketergantungan pada pihak lain, Tidak adanya kepastian kendali dan pasca operasi. Rancangan kebutuhan kelembagaan pengawasan yaitu Pangkalan Pengawasan 7 Unit, Stasiun Pengawas 31 Unit dan Satker Pengawas 130 Unit. Sampai saat ini baru Pangkalan 2 unit, Stasiun 3 unit dan Satker unit masih jauh dari harapan.

c. Meningkatkan Intesitas Operasional Pengawasaan Baik Dengan Kapal Pengawas Ditjen P2SDKP secara mandiri maupun kerjasama dengan TNI AL dan Polri. Dengan Langkah ke depan :
• Meningkatkan frekuensi kerjasama operasi dengan TNI AL dan POLAIR
• Memprogramkan pengadaan Kapal Pengawas dalam jumlah yang mencukupi baik melalui APBN Murni maupun Pinjaman / Hibah Luar Negeri (PHLN).
d. Operasional Penertiban Ketaatan Kapal Dipelabuhan.
Dalam operasi tersebut dilakukan pemeriksaan :
1. Ketaatan berlabuh di pelabuhan pangkalan sesuai dengan ijin yang diberikan,
2. Ketataan Nakhoda kapal perikanan dalam melaporkan hasil tangkapan melalui pengisian Log Book Perikanan,

3. Ketaatan pengurusan ijin untuk kapal yang belum berijin dan masa berlaku ijinnya telah habis.
Berdasarkan hasil pemeriksaan kapal di pelabuhan pangkalan yang tertib diterbitkan Surat Laik Operasi (SLO) Kapal Perikanan dari Pengawas Perikanan untuk mendapatkan Surat Izin Berlayar (SIB) dari Syahbandar dan bagi yang tidak tertib tidak akan dikeluarkan.
E.  Pengembangan Dan Optimalisasi Implementasi Vessel Monitoring System (VMS).
1. Mewajibkan Pemasangan Transmitter VMS Bagi Kapal berukuran 60 GT ketas.
2. Penerapan Transmitter VMS Off Line Bagi Kapal Berukuran 30 – 60 GT.
3. Penerapan Sanksi yang tegas sesuai ketentuan yang berlaku bagi pemilik kapal yang tidak patuh.
F.  Pengembangan Sistem Radar Pantai Yang Terintegrasi Dengan VMS.
1. Pengembangan sistem radar yang diintegrasikan dengan VMS (telah dikembangkan bersama BRKP).
2. Stasiun-stasiun radar tersebut akan ditempatkan pada titik-titik pintu masuknya kapal-kapal perikanan asing ke Indonesia (Selat Malaka, Laut Natuna dsb).
Apabila konsep ini terwujud Informasi pengawasan dapat diterima lebih banyak. Hal itu akan mengurangi fungsi patroli kapal pengawas, sehingga pengadaan kapal pengawas bisa dikurangi.
G. Koordinasi Dalam Penanganan Pelanggaran Tindak Pidana.
1. Peningkatan Peran Forum Koordinasi Penanganan Tindak Pidana Perikanan
2. Mempercepat proses penegakan hukum (penyidikan, penuntutan dan persidangan) antar lain melalui Pengadilan Khusus Perikanan
3. Mengantisipasi terjadinya tuntutan (Pra-peradilan, Class Action dan Tuntutan Perdata)
4. Mengamankan dan merawat barang bukti (misal: kapal, alat tangkap) agar nilai ekonominya dapat dipertahankan
5. Penanganan ABK Non Yustitia dari kapal-kapal perikanan asing illegal yang tertangkap
H. Pelibatan Masyarakat dalam Pengawasan Sumberdaya Ikan melalui SISWASMAS
1. Pembinaan berupa peningkatan teknis pengawasan dan pemberian stimulant kepada kelompok-kelompok tersebut berupa perlengkapan pengawas (radio komunikasi, senter, mesin tik dll).
2. Sampai dengan tahun 2006 telah terbentuk 759 Pokmaswas yang tersebar di 30 Propinsi di Indonesia.
3. Evaluasi Pokmaswas tingkat Nasional untuk mendapatkan penghargaan dari Presiden RI.
I.  Pembentukan Pengadilan Khusus Perikanan.
Dasar Pembentukan :
1. Perkara perikanan belum mendapat perhatian serius dibanding perkara lain
2. Mewujudkan suatu tatanan sistem peradilan penanganan perikanan yang efektif
3. Menstimulasi kinerja pengadilan negeri dalam menangani tindak pidana perikanan
4. Mengubah paradigma di kalangan aparat penegak hukum dalam menangani perkara-perkara perikanan
Sampai saat ini telah dibentuk di lima tempat yaitu Jakarta Utara, Pontianak, Medan, Tual dan Bitung.
N. Pengertian Daerah Penangkapan Ikan
Suatu daerah perairan dimana ikan yang menjadi sasaran penangkapan tertangkap dalam jumlah yang maksimal dan alat tangkap dapat dioperasikan serta ekonomis.  Suatu wilayah perairan laut dapat dikatakan sebagai “daerah penangkapan ikan” apabila terjadi interaksi antara sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan dengan teknologi penangkapan ikan yang digunakan untuk menangkap ikan. Hal ini dapat diterangkan bahwa walaupun pada suatu areal perairan terdapat sumberdaya ikan yang menjadi target penangkapan tetapi alat tangkap tidak dapat dioperasikan yang dikarenakan berbagai faktor, seperti antara lain keadaan cuaca, maka kawasan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai daerah penangkapan ikan demikian pula jika terjadi sebaliknya.
Sebab-Sebab Utama Jenis ikan berkumpul disuatu daerah perairan. a. Ikan-Ikan tersebut memiliki perairan yang cocok untuk hidupnya. b. Mencari makanan. c. Mencari tempat yang sesuai untuk pemijahannya maupun untuk perkembangan larvanya.
1. Karakteristik Daerah Penangkapan Ikan
Kondisi-kondisi yang perlu dijadikan acuan dalam menentukan daerah penangkapan ikan adalah sebagai berikut :
a). Daerah tersebut harus memiliki kondisi dimana ikan dengan mudahnya datang bersama-sama dalam kelompoknya, dan tempat yang baik untuk dijadikan habitat ikan tersebut. Kepadatan dari distribusi ikan tersebut berubah menurut musim, khususnya pada ikan pelagis. Daerah yang sesuai untuk habitat ikan, oleh karena itu, secara alamiah diketahui sebagai daerah penangkapan ikan. Kondisi yang diperlukan sebagai daerah penangkapan ikan harus dimungkinkan dengan lingkungan yang sesuai untuk kehidupan dan habitat ikan, dan juga melimpahnya makanan untuk ikan. Tetapi ikan dapat dengan bebas memilih tempat tinggal dengan kehendak mereka sendiri menurut keadaan dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Oleh karena itu, jika mereka tinggal untuk waktu yang agak lebih panjang pada suatu tempat tertentu, tempat tersebut akan menjadi daerah penangkapan ikan.
b).Daerah tersebut harus merupakan tempat dimana mudah menggunakan peralatan penangkapan ikan bagi nelayan. Umumnya perairan pantai yang bisa menjadi daerah penagkapan ikan memiliki kaitan dengan kelimpahan makanan untuk ikan. Tetapi terkadang pada perairan tersebut susah untuk dilakukan pengoperasian alat tangkap, khususnya peralatan jaring karena keberadaan kerumunan bebatuan dan karang koral walaupun itu sangat berpotensi menjadi pelabuhan. Terkadang tempat tersebut memiliki arus yang menghanyutkan dan perbedaan pasang surut yang besar. Pada tempat tersebut para nelayan sedemikian perlu memperhatikan untuk menghiraukan mengoperasikan alat tangkap. Terkadang mereka menggunakan trap nets, gill nets dan peralatan memancing ikan sebagai ganti peralatan jaring seperti jaring trawl dan purse seine.
Sebaliknya, daerah penangkapan lepas pantai tidak mempunyai kondisi seperti itu, tapi keadaan menyedihkan datang dari cuaca yang buruk dan ombak yang tinggi. Para nelayan juga harus mengatasi kondisi buruk ini dengan efektif menggunakan peralatan menangkap ikan.
c). Daerah tersebut harus bertempat di lokasi yang bernilai ekonomis. Ini sangat alamiah di mana manajemen akan berdiri atau jatuh pada keseimbangan antara jumlah investasi dan pemasukan. Anggaran dasar yang mencakup pada investasi sebagian besar dibagi menjadi dua komponen, yakni modal tetap seperti peralatan penangkapan ikan dan kapal perikanan, dan modal tidak tetap seperti gaji pegawai, konsumsi bahan bakar dan biaya perbekalan. Para manajer perikanan harus membuat keuntungan pada setiap operasi. Jika daerah penagkapan tersebut terlalu jauh dari pelabuhan, itu akan memerlukan bahan bakar yang banyak. Jika usaha perikanan tersebut benar-benar memiliki harapan yang besar, usaha yang dijalankan mungkin boleh pergi ke tempat yang lebih jauh. Nelayan yang dalam kasus demikian dapat memperoleh keuntungan dengan manajemen usaha perikanan. Jika kita dapat membuat alat untuk meningkatkan efisiensi usaha perikanan seperti menggunakan mesin perikanan yang lebih efisien, kemudian kita dapat juga memperbesar kapasitas kita untuk menangkap ikan ke tempat yang lebih jauh.
Daerah penangkapan ikan juga dikontrol oleh permintaan pasar untuk ikan. Permintaan untuk produk ikan akan dipengaruhi oleh kapasitas ketersediaan dari tempat tersebut, sebagai contoh, adalah baru saja dikembangkan sebagai daerah penangkapan ikan. Jadi, daerah penangkapan ikan selalu memiliki nilai yang relatif, berhubungan dengan keseimbangan ekonomi, daerah penangkapan ikan lainnya, efisiensi usaha perikanan dan permintaan ikan di dalam pasar. Begitulah, harus selalu berusaha menemukan daerah penangkapan ikan yang ekonomis dan efektif dari metode penangkapan ikan yang dimodernisasi.
2. Pemilihan Daerah Penangkapan Ikan
Hal pertama yang harus kita ketahui tentang keberadaan daerah penangkapan ikan menurut spesis ikan dan dari musim. Pemilihan daerah penangkapan ikan akan dibahas dengan sesuai pemahaman dari efisiensi, keuntungan dan ekonomi usaha perikanan. Metode pemilihan akan dibahas sebagai berikut :
a). Asumsi awal tentang area lingkungan yang cukup sesuai dengan tingkah laku ikan yang diarahkan dengan menggunakan data riset oseanografi dan meteorologi.
b). Asumsi awal tentang musim dan daerah penangkapan ikan, dari pengalaman menangkap ikan yang lampau yang dikumpulkan ke dalam arsip kegiatan penangkapan ikan masa lampau.
c). Pemilihan daerah penangkapan ikan yang bernilai ekonomis dengan mempertimbangkan dengan seksama jarak dari pangkalan, kepadatan gerombolan ikan, kondisi meteorologi, dan lain sebagainya.
3. Klasifikasi Daerah Penangkapan Ikan
A). Berdasarkan Daerah Operasinya.
1. Littoral Zone Fishing Ground
2. Coastal Fishing Ground
3. High Sea Fishing Ground
4. Island Waters Fishing Ground
B). Berdasarkan Alat dan Metode Penangkapannya
1. Fixed Trap Net Fishing Ground
2. Lift Net Fishing Ground
3. Purse Seine Fishing Ground
4. Trawl Net Fishing Ground
5. Gill Net Fishing Ground
6. Angling Fishing Ground
C). Berdasarkan Jenis Ikan Target Penangkapan
1. Sardine Fishing Ground
2. Mackerel Fishing Ground
3. Bonito Fishing Ground
4. Tuna Fishing Ground
D). Berdasarkan Habitat Ikannya.
1. Demersal Fishing Ground
2. Pelagic Fishing Ground
3. Shallow Fishing Ground
E). Berdasarkan Kedalaman Perairannya.
1. Shallow Sea Fishing Ground
2. Deep Sea Fishing Ground
F). Berdasarkan Nama Perairannya.
1. Cina Selatan Sea Fishing Ground
2. Banda Sea Fishing Ground
3. Samudera Sea Fishing Ground
4. Arafura Sea Fishing Ground
G). Berdasarkan Letak Perairannya.
1. Laut Fishing Ground
2. Sungai Fishing Ground
3. Danau Fishing Ground
4. Rawa Fishing Ground

III. PENUTUP
3.1. Kesimpulan
(1) pergeseran kebijakan perikanan, dari pengelolaan yang beorientasi pada perluasan usaha menuju pada pengelolaan yang berkelanjutan.
(2) pengelola perikanan memahami bahwa prinsip ‘sumberdaya tidak akan pernah habis’, sudah tidak berlaku atau dengan kata lain, ’perluasan usaha penangkapan yang tanpa kontrol tidak akan menguntungkan lagi.
(3) Pengelola perikanan menyadari bahwa pemindahan usaha penangkapan dari wilayah yang mengalami tangkapan berlebih ke wilayah lainnya akan memberikan kontribusi terhadap kolapsnya perikanan tangkap setempat.
(4) Pergeseran pengelolaan perikanan dari ketergantungan terhadap model MSY menuju pengelolaan berdasarkan pendekatan ekosistem, dimana Kawasan Perlindungan Laut akan memainkan peran cukup penting.
















DAFTAR PUSTAKA

Victor PH Nikijuluw, 2008. Blue Water Crime: Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Ilegal (PT. Cidesindo, Jakarta).
Fauzi A, 2003. Menimbang Untung Rugi Kapal Asing Di ZEE” Majalah PILARS, 16/IV,Juli
Fauzi A, 2005. Kebijakan Perikanan Dan Kelautan. Isu, Sintesis Dan Gagasan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
FAO, 2002. The state of the world fisheries and aquaculture 2002. FAO, Rome: FAO, 150 pp.
Widodo J. 2003 Pengkajian stok sumber daya ikan laut Indonesia tahun 2002 [Review of Indonesia’s marine fishery of 2002]. In: Widodo J., Wiadnyana N.N. & Nugroho D. (Eds). Prosiding forum pengkajian stok ikan laut 2003. Jakarta, 23-24 Juli 2003. PUSRIPT-BRKP, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta. pp. 1-12.
Widodo J., Wiadnyana N.N. & Nugroho D. 2003 Prosiding forum pengkajian stok ikan laut 2003. Jakarta, 23-24 Juli 2003. PUSRIPT-BRKP, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta, 99 pp.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar