Kamis, 24 November 2011

Penangkapan ikan Ghost Fishing


Ghost fishing sebenarnya bukanlah suatu jenis alat tangkap, atau bukan pula metoda penangkapan ikan yang memanfaatkan ilmu ghaib, seperti magic atau ilmu-ilmu sebangsanya dalam penangkapan ikan. Ghost fishing adalah suatu istilah dalam penangkapan ikan yang menggambarkan dampak negatif dari kegiatan penangkapan ikan. Layaknya istilah-istilah lain yang bertalian dengan “ghost”, istilah ghost fishing ini juga bermakna menakutkan, menakutkan bagi kelestarian sumberdaya ikan.
Sejak permintaan dunia akan sumber protein hewani khususnya ikan meningkat, upaya untuk meningkatkan kemampuan tangkap alat penangkapan ikan terus diupayakan, baik dari sisi teknologi bahan alat penangkapan ikan, metode penangkapan ikan, maupun teknologi alat bantu penangkapan ikannya. Kompetisi yang makin tinggi antar nelayan penangkap ikan mendorong nelayan untuk mengoperasikan alat tangkap yang lebih efektif dan efisien. Untuk memperpanjang masa pengoperasian alat tangkap, bahan alat tangkap yang semula dibuat dari bahan alami dan mudah rusak diganti dengan bahan yang dibuat dari fiber sintetik modern yang bersifat non-biodegradable. Bahan-bahan inilah yang kemudian memicu adanya gost fishing.
Dalam kegiatan penengkapan ikan, karena beberapa sebab, tidak jarang nelayan kehilangan alat tangkapnya. Nelayan yang mengoperasikan alat tangkap di pantai, seperti jaring gillnettrammel net atau bubu yang dioperasikan secara menetap hilang karena disapu oleh alat tangkap aktif seperti trawldogol, dan sebagainya. Alat tangkap juga bisa hilang karena faktor cuaca. Tidak jarang pula alat tangkap hilang karena unsur kesengajaan, misalnya dipotong oleh kapal niaga yang melintas jalur laut tersebut atau dipotong nelayan lain karena mengganggu daerah operasi penangkapannya. Potongan atau bagian jaring, atau alat tangkap yang tertinggal di laut, secara terus menerus akan menangkap ikan. Proses tertangkapnya ikan yang tak termanfaatkan sebagai akibat dari tertinggalnya alat tangkap ikan di laut inilah yang disebut sebagai ghost fishing
Alat tangkap yang tertinggal di laut akan menyebabkan tertangkapnya ikan, yang kemudian karena mati, ikan menjadi busuk. Ikan yang telah membusuk tersebut kemudian menarik ikan atau biota pemangsa bangkai dan krustasea lainnya berkumpul di sekitarnya. Selanjutnya, kehadiran ikan dan krustasea pemangsa bangkai di sekitar alat tangkap, menarik ikan yang tropik levelnya lebih tinggi untuk datang dan memangsa ikan dan biota yang ada. Kecelakaan terjadi, beberapa ikan terperangkap alat tangkap yang tertinggal dan memicu siklus ghost fishing selanjutnya, demikian seterusnya. Proses ini akan berulang terus sampai alat tangkap itu hancur sama sekali. Umur dari siklus ghost fishing ini bervariasi, dan sangat bergantung pada kondisi lingkungan di sekitar tertinggalnya alat tangkap tersebut. 
Perhatian yang lebih besar dari ghost fishing perlu diberikan kepada bubu atau alat perangkap lainnya, bukan pada alat tangkap jaring, seperti gillnetatau trammelnet. Hal ini karena, bubu atau perangkap biasanya terbangun atas material atau bahan-bahan yang tahan lama dan struktur yang kuat, misalnya besi, kawat, bambu atau kayu. Sehingga bila tertinggal atau hilang di laut akan menyebabkan proses ghost fishing yang relatif lebih lama dibandingkan jaring. Bubu atau perangkap yang masih berumpan bila hilang atau tertinggal di laut, akan menarik ikan ikan-ikan pemangsa bangkai atau biota yang bernilai ekonomis lainnya untuk masuk dan kemudian terperangkap di dalam bubu. Ikan atau biota yang terperangkap tersebut karena kekurangan makanan dan ruang akhirnya mati, dan menjadikannya umpan bagi ikan pemangsa selanjutnya. Bila bahan dari bubu ini merupakan bahan yang tidak mudah rusak, maka proses hilangnya sumberdaya ikan akibat ghost fishing ini akan semakin banyak dan lebih merugikan dibanding jaring. 
Nilai dan jenis dampak dari ghost fishing sangat beragam, tergantung pada wilayah dan jenis perikanannya. Meskipun relatif sulit untuk menghitung nilai dampak dari ghost fishing, beberapa penelitian terhadap alat tangkap statis menunjukkan bahwa kehilangan akibat ghost fishingdiperkirakan sebesar 10% dari populasi yang ada. Amerika Serikat memperkirakan kehilangan pendapatan sekitar $250 juta per tahun dari hilangnya lobster akibat dari ghost fishing. Dilaporkan juga bahwa, jenis kerugian dari ghost fishing ini bukan saja dari hilangnya sumberdaya ikan, tetapi juga dialami oleh sumberdaya non-ikan seperti burung laut dan mamalia. Yang tak kalah pentingnya, hilangnya alat tangkap di laut ternyata juga berdampak luas terhadap ekologi laut dan juga transportasi laut khususnya keselamatan kapal di laut.
Mengingat begitu menakutkannya dampak dari ghost fishing, maka FAO merekomendasikan beberapa langkah antisipasi dan penanganan hilangnya alat tangkap termasuk di dalamnya ghost fishing dalam FAO Code of Conduct of Responsible Fisheries. Sebagai solusi kongkret, disarankan alat penangkapan ikan, khususnya bubu untuk menggunakan lubang keluar dan menggunakan material yang biodegradable. Penelitian secara berkala ghost fishing dengan underwater camera atau teknologi lainnya juga disarankan, untuk mengantisipasi peningkatan dampaknya pada masa yang akan datang.

Pantai Ngurbloat, pantai dengan pasir putih paling halus di dunia atau lebih dikenal oleh penduduk kota Tual dengan Pantai Pasir Panjang, terletak di Desa Ngilngof di bagian barat Pulau Kei Kecil. Pasir putihnya yang membentang sekitar 5 Km, ribuan pohon kelapa yang terhampar dipinggir pantai, air laut yang jernih membiru dan ombak yang tenang akan membuat anda betah berlama-lama ditempat ini. Kawasan ini masih sangat alami dan merupakan daerah wisata yang mudah di jangkau oleh penduduk di Pulau Kei ini.



Selain itu, warna pasir Pantai Ngurbloat ini putih cerah dan sangat lembut. Dalam kondisi mendung pun, pasir pantai tetap terlihat berkilau dan cukup menyilaukan mata. Pada saat kondisi panas terik, pasir pantai ini tidak ikut menjadi panas seperti pasir-pasir pantai pada umumnya. Kelembutan pasir yang ada di Pantai Ngurbloat diyakini masyarakat hanya dapat ditandingi oleh kelembutan tepung. Kondisi itulah yang membedakan Ngurbloat dengan pantai lainnya. Bagi wisatawan yang membawa anak balita, jangan lupa membawa peralatan untuk bermain pasir. Butiran pasir pantai yang halus menjadikan kulit terasa nyaman saat bersentuhan dengannya.



Di kawasan itu juga orang bisa berenang. Lokasinya cukup aman dan luas karena Pantai Ngurbloat landai. Pulau–pulau kecil yang terletak berhadapan dengan pantai itu membuat ombak laut di pantai tersebut tidak terlalu besar dan arusnya pun tidak terlalu kuat. Sejumlah kamar di beberapa penginapan di sekitar situ disediakan untuk wisatawan yang ingin bermalam di tepi pantai. Penginapan–penginapan tersebut umumnya berupa rumah panggung ala tropis yang terbuat dari kayu.



Pantai Ngurbloat yang terletak di pesisir barat Pulau Kei Kecil berjarak sekitar 20 kilometer dari Tual, ibu kota Kabupaten Maluku Tenggara. Daerah itu dapat dicapai dengan menggunakan mobil sewaan ataupun angkutan umum yang berpangkalan di Pasar Ohoijang, Langgur. Perjalanan dari Tual ke Pantai Ngurbloat ditempuh sekitar satu jam. Terdapat sejumlah perkampungan kecil yang letaknya terpencar–pencar di antara hamparan padang belukar.

Tanah di Pulau Kei Kecil yang berupa batu karang menyebabkan hanya tanaman jenis tertentu yang dapat tumbuh di sana. Jarang sekali ditemukan pohon–pohon besar dan rimbun. Untuk ke Maluku Tenggara sendiri, wisatawan dapat menggunakan pesawat terbang ataupun kapal laut dari Ambon. Perjalanan dari Bandar Udara Pattimura, Ambon, menuju Bandar Udara Dumatubun di Langgur ditempuh sekitar 1,5 jam dengan menggunakan pesawat berbadan kecil.



Hampir setiap hari terdapat penerbangan dari Ambon menuju Langgur dengan maskapai yang berbeda–beda. Bagi yang gemar menggunakan angkutan laut, perjalanan dapat dilakukan dari Pelabuhan Yos Sudarso, Ambon, menuju Pelabuhan Tual. Perjalanan ini berlangsung sekitar 18 jam dengan menggunakan kapal penumpang milik PT Pelni. Waktu tempuh tersebut termasuk singgah sekitar dua jam di Pelabuhan Banda Naira. Namun, perjalanan laut ini biasanya hanya satu kali dalam satu minggu.

Rabu, 23 November 2011

“set net”


I. PENDAHULUAN
  1. Latar  Belakang
Pada saat ini nelayan dan pengusaha perikanan tangkap dipusingkan dengan harga bahan bakar minyak yang cukup tinggi dan ditambah lagi semakin sulit atau jauh mencari daerah penangkapan ikan. Dengan keadaan seperti ini tentu sangat diperlukan untuk mencari alternatif jenis alat tangkap yang pengopeasiannya hemat energi (bahan bakar minyak) dimana set net kemungkinan dapat dikembangkan.
Tim perikanan asal Jepang dan Thailand memperkenalkan teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan, disebut “set net” kepada nelayan Aceh untuk mengatasi ancaman ekspoitasi perikanan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). “Teknologi set net ini telah diterapkan di Jepang dan Thailand yang hasilnya sangat memuaskan, selain juga ramah lingkungan,” kata Prof Arimoto dari Tokyo University of Science and Technology dalam rapat uji coba dan pengembangan set net, di Banda Aceh.

       II.TINJAUAN PUSTAKA
  1. Pembahasan
set net merupakan alat tangkap yang pengoperasiannya mirip dengan perangkap bambu. Set net yang terbuat dari jaring biasanya digunakan nelayan tradisional, katanya. Set net dapat dipasang sampai kedalaman 15 meter bagi yang berukuran kecil, 40 meter untuk ukuran sedang dan lebih dari 40 meter ukuran besar, sedangkan perangkap tradisional hanya mencapai kedalaman tiga meter. Set net atau sero jarring adalah sejenis alat tangkap ikan bersifat menetap dan berfungsi sebagai perangkap ikan dan biasanya dioperasikan di perairan pantai. Ikan umumnya memiliki sifat beruaya menyusuri pantai
Bagian-bagian setnet
Terdiri atas 4 bagian utama yaitu :
1. Leadernet (dinding jarring) berfungsi untuk menghadang rute migrasi kelompok ikan dan mengarahkan kelompok ikan ke playground.
2. Playground (tempat bermain) berfungsi mencegah ikan-ikan untuk melarikan diri dari segala sisi.
3. Slope dan funnelnet berfungsi untuk mengarahkan ikan masuk ke bagnet dan memutuskan rute kelompok ikan.
4. Bagnet berfungsi sebagai tempat terakhir kelompok ikan berkumpul karena terperangkap dan tempat pemanenan hasil tangkapan.
Hasil tangkapan setnet umumnya adalah jenis ikan atau gerombolan ikan yang sedang melakukan migrasi, seperti migrasi untuk mencari ikan (feeding migration), migrasi untuk memijah (spawning migration) atau migrasi lainnya. Ikan yang memasuki setnet ada yang bermigrasi secara soliter, aggregation atau migrasi secara bergerombol dalam bentuk school atau dalam bentuk pood, seperti ikan tongkol, tuna, layang, selar, kembung, kuwe dan ikan ekonomis penting lainnya.
pada saat melakukan ruaya ini kemudian dihadang oleh jaring set net kemudian ikan tersebut tergiring masuk ke dalam kantong. Ikan yang telah masuk ke dalam kantong umumnya akan mengalami kesulitan untuk keluar lagi sehingga ikan tersebut akan mudah untuk ditangkap dengan cara mengangkat jarring kantong. Satu unit set net terdiri dari beberapa bagian yakni penaju (leader net), serambi (trap/play ground), ijeb-ijeb (entrance) dan kantong (bag/crib).
Jenis alat tangkap set net banyak dioperasikan oleh nelayan di Jepang sejak ratusan tahun yang lalu dengan berbagai ukuran yakni kecil, sedang, dan besar. Set net berukuran kecil umumnya dengan panjang penaju kurang dari 500 m dipasang pada kedalaman perairan kurang dari 20 m, sedang yang berukuran besar memiliki panjang penaju antara 4000-5000 m dan dipasang pada perairan dengan kedalaman antara 30 – 40 m. Berbagai jenis ikan yang tertangkap oleh set net di Jepang antara lain: sardine, ekor kuning, salmon, dan tuna. Produksi perikanan dari hasil tangkapan set net di Jepang dapat mencapai 3 % dari produksi total dari hasil tangkapan perikanan laut.
Di Indonesia terdapat berbagai jenis alat tangkap sejenis set net seperti jermal, sero, ambai, belat dan perangkap lainnya. Perbedaan jenis alat tangkap ini dengan set net adalah bahan yang digunakan yakni sebagian besar dari bambu, kecuali bagian kantong yang terbuat dari jaring. Jenis ikan yang tertangkap juga berbeda dimana alat tangkap perangkap (trap) di Indonesia umumnya menangkap jenis ikan demersal seperti layur, petek dan sebagian jenis ikan pelagis seperti sardine dan tembang. Namun pada prinsipnya hampir sama yakni menghadang ruaya ikan kemudian diarahkan masuk ke dalam perangkap/trap dan akhirnya ke kantong.
Uji Coba Set Net di Indonesia
Perikanan set net di Indonesia baru dalam taraf penelitian atau uji coba dan belum dikembangkan oleh nelayan secara komersial. Uji coba alat set net pertama kali dilakukan oleh Balai Riset Perikanan Laut/Balai Penelitian Perikanan Laut di perairan Pacitan Jawa Timur pada tahun 1981. Pada tahun yang sama dilakukan juga uji coba di perairan Bajanegara Banten, kemudian diikuti uji coba di Prigi Jawa Timur pada tahun 1982 dan di perairan Selat Sunda, Banten pada tahun 1990 dan 1993. Set net yang diujicoba berukuran relatif kecil dengan panjang penuju antara 100-300 m dan dipasang di perairan pantai dengan kedalaman kurang dari 10 m.
Pada saat uji coba dilakukan penangkatan hasil tangkapan ikan dari kantong setiap hari. Rata-rata hasil tangkapan ikan berkisar antara 20-30 kg/angkat. Hasil tangkapan tertinggi pernah mencapai 100 kg/angkat pada saat dilakukan uji coba di Pacitan. Jenis ikan yang tertangkap saat itu didominasi oleh ikan demersal yang beruaya mengikuti pergerakan pasang surut seperti ikan layur, petek, mata besar dan sebagian ikan pelagis sejenis sardine.
Selanjutnya kegiatan ujicoba set net juga dilakukan oleh Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap di perairan Sorong Papua Barat pada tahun 2006. Tipe set net yang diujicoba hampir sama dengan uji coba sebelumnya namun memiliki ukuran yang lebih besar (penaju sekitar 500 m) dan dipasang di perairan yang lebih dalam (lebih dari 20 m).
Kelebihan dan Kelemahan Set Net
Kelebihan
  • Hemat bahan bakar karena alat dipasang menetap sehingga kapal tidak perlu berlayar jauh untuk mencari daerah penangkapan.
  • Jaring set net yang terpasang di laut dapat digunakan sebagai tempat berlindung (shelter) ikan-ikan yang berukuran kecil sehingga tidak dimakan predator.
  • Hasil tangkapan ikan relatif segar/masih hidup dan dapat diangkat/diambil sesuai dengan kebutuhan pasar.
  • Mudah dipindahkan dibanding dgn jenis trap yang ada di Indonesia.
  • Sangat sesuai untuk pengembangan usaha perikanan skala menengah kebawah.
Kelemahan
  • Hasil tangkapan set net sangat tergantung pada ruaya ikan sehingga untuk memasang set net harus diketahui jalur ruaya ikan terlebih dulu.
  • Jika digunakan penaju (lead net) cukup panjang akan mengganggu alur pelayaran kapal dan juga pengoperasian alat tangkap lain.
  • Tidak semua ikan tertangkap di dalam kantong, kadang-kadang tertangkap juga secara “gilled or entangled” di bagian penaju (lead net) atau serambi (trap net) terutama yang menggunakan bahan jarring sehingga diperlukan pekerjaan tambahan untuk memeriksa bagian tersebut.
  • Jaring harus sering dibersihkan terutama bagian kantong karena banyak ditempeli oleh kotoran dan teritip.
Kemungkinan Pengembangannya
Indonesia terdiri dari ribuan pulau dan memiliki garis pantai sekitar 81.000 km dengan berbagai teluk dan semenanjung. Dengan topografi seperti ini maka wilayah perairan laut Indonesia sangat potensial untuk dikembangkan perikanan set net. Beberapa hal penting yang harus diperhatikan sebelum pemasangan set antara lain: ketersedian sumber daya ikan yang menjadi tujuan penangkapan, pola ruaya ikan yang menjadi tujuan penangkapan, kondisi perairan dimana set net akan dipasang (topografi dasar, keadaan arus, pasang surut, dan gelombang).
Pengembangann alat tangkap set net sebaiknya dilakukan di wilayah perairan Indonesia bagian timur karena disamping alasan sumberdaya ikan yang masih tersedia dan juga apabila dipasang dengan ukuran yang besar tidak terlalu mengganggu arus pelayaran dan pengoperasian alat tangkap lain. Jika dikembangkan di wilayah Indonesia timur tinggal memikirkan bagaimana cara pemasaran hasil tangkapannya. Set net juga menciptakan kerjasama antar nelayan sehingga mengurangi konflik yang timbul akibat perebutan wilayah penangkapan. “Perekonomian nelayan juga meningkat karena hasil tangkapan yang diperoleh dalam kondisi segar dan dapat dijual dengan harga tinggi.
 III. PENUTUP
  1. Kesimpulan
Set net merupakan alat tangkap yang pengoperasiannya mirip dengan perangkap bambu. Set net yang terbuat dari jaring biasanya digunakan nelayan tradisional, katanya. Set net dapat dipasang sampai kedalaman 15 meter bagi yang berukuran kecil, 40 meter untuk ukuran sedang dan lebih dari 40 meter ukuran besar, sedangkan perangkap tradisional hanya mencapai kedalaman tiga meter. Selain ramah lingkungan karena perairan pantai tetap terjaga, set net juga menciptakan kerjasama antar nelayan sehingga mengurangi konflik yang timbul akibat perebutan wilayah penangkapan. “Perekonomian nelayan juga meningkat karena hasil tangkapan yang diperoleh dalam kondisi segar dan dapat dijual dengan harga tinggi Cara kerja set net  sangat mudah karena nelayan hanya menggiring ikan dengan menggunakan leader net masuk ke perangkap akhir, sehingga ikan dalam kondisi segar dapat dipanen setiap hari. Penangkapan ikan yang dilakukan nelayan tradisional dengan menggunakan berbagai alat tangkap dapat mengakibatkan penurunan stok ikan dan degradasi lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.dkp-banten.go.id/news/?p=22
http://www.mail-archive.com/agromania@yahoogroups.com/msg00882.html

Ghost fishing

Ghost fishing sebenarnya bukanlah suatu jenis alat tangkap, atau bukan pula metoda penangkapan ikan yang memanfaatkan ilmu ghaib, seperti magic atau ilmu-ilmu sebangsanya dalam penangkapan ikan. Ghost fishing adalah suatu istilah dalam penangkapan ikan yang menggambarkan dampak negatif dari kegiatan penangkapan ikan. Layaknya istilah-istilah lain yang bertalian dengan "ghost", istilah ghost fishing ini juga bermakna menakutkan, menakutkan bagi kelestarian sumberdaya ikan.

Sejak permintaan dunia akan sumber protein hewani khususnya ikan meningkat, upaya untuk meningkatkan kemampuan tangkap alat penangkapan ikan terus diupayakan, baik dari sisi teknologi bahan alat penangkapan ikan, metode penangkapan ikan, maupun teknologi alat bantu penangkapan ikannya. Kompetisi yang makin tinggi antar nelayan penangkap ikan mendorong nelayan untuk mengoperasikan alat tangkap yang lebih efektif dan efisien. Untuk memperpanjang masa pengoperasian alat tangkap, bahan alat tangkap yang semula dibuat dari bahan alami dan mudah rusak diganti dengan bahan yang dibuat dari fiber sintetik modern yang bersifat non-biodegradable. Bahan-bahan inilah yang kemudian memicu adanya gost fishing.

Dalam kegiatan penengkapan ikan, karena beberapa sebab, tidak jarang nelayan kehilangan alat tangkapnya. Nelayan yang mengoperasikan alat tangkap di pantai, seperti jaring gillnet, trammel net atau bubu yang dioperasikan secara menetap hilang karena disapu oleh alat tangkap aktif seperti trawl, dogol, dan sebagainya. Alat tangkap juga bisa hilang karena faktor cuaca. Tidak jarang pula alat tangkap hilang karena unsur kesengajaan, misalnya dipotong oleh kapal niaga yang melintas jalur laut tersebut atau dipotong nelayan lain karena mengganggu daerah operasi penangkapannya. Potongan atau bagian jaring, atau alat tangkap yang tertinggal di laut, secara terus menerus akan menangkap ikan. Proses tertangkapnya ikan yang tak termanfaatkan sebagai akibat dari tertinggalnya alat tangkap ikan di laut inilah yang disebut sebagai ghost fishing.

Alat tangkap yang tertinggal di laut akan menyebabkan tertangkapnya ikan, yang kemudian karena mati, ikan menjadi busuk. Ikan yang telah membusuk tersebut kemudian menarik ikan atau biota pemangsa bangkai dan krustasea lainnya berkumpul di sekitarnya. Selanjutnya, kehadiran ikan dan krustasea pemangsa bangkai di sekitar alat tangkap, menarik ikan yang tropik levelnya lebih tinggi untuk datang dan memangsa ikan dan biota yang ada. Kecelakaan terjadi, beberapa ikan terperangkap alat tangkap yang tertinggal dan memicu siklus ghost fishing selanjutnya, demikian seterusnya. Proses ini akan berulang terus sampai alat tangkap itu hancur sama sekali. Umur dari siklus ghost fishing ini bervariasi, dan sangat bergantung pada kondisi lingkungan di sekitar tertinggalnya alat tangkap tersebut.

Perhatian yang lebih besar dari ghost fishing perlu diberikan kepada bubu atau alat perangkap lainnya, bukan pada alat tangkap jaring, seperti gillnet atau trammelnet. Hal ini karena, bubu atau perangkap biasanya terbangun atas material atau bahan-bahan yang tahan lama dan struktur yang kuat, misalnya besi, kawat, bambu atau kayu. Sehingga bila tertinggal atau hilang di laut akan menyebabkan proses ghost fishing yang relatif lebih lama dibandingkan jaring. Bubu atau perangkap yang masih berumpan bila hilang atau tertinggal di laut, akan menarik ikan ikan-ikan pemangsa bangkai atau biota yang bernilai ekonomis lainnya untuk masuk dan kemudian terperangkap di dalam bubu. Ikan atau biota yang terperangkap tersebut karena kekurangan makanan dan ruang akhirnya mati, dan menjadikannya umpan bagi ikan pemangsa selanjutnya. Bila bahan dari bubu ini merupakan bahan yang tidak mudah rusak, maka proses hilangnya sumberdaya ikan akibat ghost fishing ini akan semakin banyak dan lebih merugikan dibanding jaring.

Nilai dan jenis dampak dari ghost fishing sangat beragam, tergantung pada wilayah dan jenis perikanannya. Meskipun relatif sulit untuk menghitung nilai dampak dari ghost fishing, beberapa penelitian terhadap alat tangkap statis menunjukkan bahwa kehilangan akibat ghost fishing diperkirakan sebesar 10% dari populasi yang ada. Amerika Serikat memperkirakan kehilangan pendapatan sekitar $250 juta per tahun dari hilangnya lobster akibat dari ghost fishing. Dilaporkan juga bahwa, jenis kerugian dari ghost fishing ini bukan saja dari hilangnya sumberdaya ikan, tetapi juga dialami oleh sumberdaya non-ikan seperti burung laut dan mamalia. Yang tak kalah pentingnya, hilangnya alat tangkap di laut ternyata juga berdampak luas terhadap ekologi laut dan juga transportasi laut khususnya keselamatan kapal di laut.